Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kapitalisme Demokratis ala Pemilu

17 April 2019   12:47 Diperbarui: 17 April 2019   13:04 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana TPS | dokpri

Tadi pagi, saya ditelpon oleh seorang kawan yang bekerja di Jakarta. Singkat cerita, ia berniat pulang ke Jatinangor, Sumedang hanya untuk menunaikan misi mulia sebagai warga negara, yakni menggunakan hak pilihnya di TPS terdekat. Dengan niat yang sangat demokratis ini, ia kemudian pergi ke terminal Cililitan. 

Sesampainya di sana, alamaaak.. antrian orang yang mudik sangatlah panjang. Tiket antri untuk masuk ke dalam bus mencapai seribu! Tapi, wajar juga sih, karena banyak orang akan memanfaatkan long weekend, tidak hanya untuk pemilu. Dari pukul sepuluh malam hingga tadi jam enam pagi, tak dinyana antriannya tak kunjung usai. Kemungkinan ia mendapatkan bis sekitar jam sembilan pagi. Dengan waktu tunggu selama itu, saya mengusulkan, "sudahlah pulang saja, kalau pun mau milih, kasih tahu saja pilihanmu nanti saya yang cobloskan, hahaha!"

Dengan lesu, ia kemudian mengurungkan niat untuk pulang ke Jatinangor dan bertahan di ibu kota, meski ia tahu kecil persentasenya untuk mendapatkan hak suara. Kecuali, dia ada dua keajaiban datang: entah dia didahulukan antrian atau TPS dekat terminal mau menampungnya sebagai pemilih tambahan. Padahal, rencananya kami memang akan sama-sama berangkat ke TPS dan selanjutnya memanfaatkan diskon dan promo yang ditawarkan oleh berbagai merchants di mall Jatos. Namun, apa daya realita ternyata lebih pahit di lapangan: rayuan diskon dan promo pemilu gagal kami dapatkan!

Berbicara tentang aneka promo di hari pencoblosan, fenomena ini sangatlah menarik untuk diikuti. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara lain, banyak gerai juga menawarkan promo menyambut pemilihan umum. Tujuannya tentu: menarik sebanyak mungkin konsumen. Demokrasi berbalut kapitalisme seperti ini lah yang lebih masif diterapkan di daerah-daerah urban. Mungkin orang tidak kenal sama sekali, bahkan tidak sepenuhnya memahami betul visi misi kandidat yang ia pilih, namun demi potongan harga dan eksistensi dunia maya, memilih pun menjadi gaya hidup. 

Di luar negeri sana, minat memilih juga tak kalah tinggi, bahkan beberapa TPS akhirnya memperpanjang masa pemilihan untuk mengakomodasi WNI yang belum menyalurkan hak pilihnya. Bahkan ada juga cerita seorang WNI yang menempuh perjalanan kereta 13 jam untuk voting! Luarbiasa! Jarak saya dengan TPS yang hanya ke seberang jalan saja, harus diiming-imingi oleh diskon dulu baru gerak kok, hehe!

Suasana berbeda akan terlihat di pelosok-pelosok desa, pertimbangan memilih bukan hanya sekadar tawaran diskon, tapi masih berkedok amplop serangan fajar. Walau sekarang gedoran habis shubuh dirasa terlalu mendadak dangdut, banyak calon yang akhirnya mendekati para pemilih dan memberikan amplop jauh-jauh hari, layaknya tagline "selalu terdepan" untuk memenangkan konsumen, eh konstituen. 

Hasil ngobrol dengan warga, amplop sogokan sekarang tidak lagi datang beberapa jam sebelum pemilu. Seminggu sebelum coblosan, mereka sudah didatangi beberapa tim kampanye yang hadir menawarkan macam-macam mahar politik, dari paket sembako hingga uang tunai. Besaran uangnya pun bervariasi, semakin kecil cakupan wilayahnya semakin besar uang amplopnya. Contohnya, besaran uang amplop di tingkat Kota/Kabupaten akan jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat provinsi atau pusat. 

Dan, bagi banyak warga, menggunakan hak suara bukan hanya sekadar datang dan mencoblos, tapi juga kehilangan waktu untuk mengais rezeki. Bagi driver ojol yang makin hari persaingannya makin kompetitif, meluangkan waktu satu-dua jam untuk ke TPS sama halnya dengan kehilangan waktu produktif. Di daerah-daerah yang jauh dari TPS, ongkos untuk datang kesana tidaklah sebanding dengan perlakuan politisi pada mereka yang seringkali terpinggirkan. "Jadi apa salahnya kalau menerima amplop uang?" dalih mereka.

Meski di beberapa tempat, metode sogokan sudah dirasa tidak efektif, yang kemudian berganti dengan metode win-win solution lainnya. Salah satu metode mendapatkan suara di desa yang pernah saya kunjungi adalah caleg atau kandidat yang ingin mendapatkan mayoritas suara, mendatangi perangkat desa dan kemudian mendiskusikan apa yang perlu diperbaiki atau dibangun di desa tersebut. Misalnya ada jembatan atau jalan rusak, kandidat tersebut akan segera membereskannya sebelum hari-H dengan jaminan calon tersebut mendapatkan mayoritas suara. Apakah kemudian efektif? Sejauh yang saya tahu, iya. Warga yang sudah melihat hasil 'DP' kandidat kemudian tidak ragu untuk memberikan suaranya.

Nah, dengan melihat berbagai fakta di atas, saya rasa pemilu bukan lagi hanya sarana pencapaian tujuan demokrasi semata. Dibalik itu semua, pemilu menunjukkan esensi kita sebagai manusia sebenarnya. Kita yang oportunis, mengambil keuntungan dari situasi yang ada: menikmati diskon dan promo. 

Kita yang pragmatis: meminta kandidat menyelesaikan proyeknya dulu untuk mendapatkan suara. Dan, kita yang memiliki kebutuhan primer untuk eksis: berselfie ria setelah menunaikan hak suara. Oleh karena itu, saya pikir pemilu dan tetek bengeknya merupakan perwujudan kompleks dari kapitalisme yang dibalut secara demokratis. Sebab, betapa pun idealnya sistem pemerintahan di dunia ini, kita akan selalu berpikir seperti salah satu teori definisi politik: saya akan mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun