Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Loyalitas Suporter Sepak Bola di Mata Orang Awam

5 Oktober 2018   11:19 Diperbarui: 5 Oktober 2018   11:41 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(regional.kompas.com)

Menengok para supporter bola tanah air, termasuk bagaimana fanatisme berlebihan mereka yang berulang kali memakan korban, saya selalu sukses dibuatnya heran dan geleng-geleng kepala. Konflik pasca-pertandingan hingga pengeroyokan terhadap pendukung lawan seolah sudah menjadi warna-warni liga sepakbola kita.

Karena kondisi itu juga lah, meski saya pemerhati sepakbola nasional, saya tidak pernah menginjakkan kaki ke stadion. Padahal bisa dibilang, sudah banyak juga suporter perempuan yang merapat dan turut mendukung kesebelasannya secara langsung.

Belum lagi di luar lapangan, beberapa kali saya membaca dan mendengar gerakan suporter yang menggalang dana amal sampai membantu korban bencana. Namun persentase mereka jauh lebih kecil dibanding jumlah oknum yang terlibat huru hara.

Selain ketimpangan tersebut, saya juga mengalami pengalaman pribadi yang membuat saya kurang respek terhadap rombongan suporter. Meski saya akui, lebih banyak orang-orang baik yang mendukung klub bola dengan tulus tanpa mengedepankan anarkisme. Tapi saya rasa ada baiknya berbagi cerita agar persoalan sejenis dapat segera teratasi. 

Pernah suatu kali saat PSSI menyelenggarakan kongres di Bandung, saya berjumpa dengan segerombolan bonek yang mencoba mencari tumpangan truk untuk pulang ke Surabaya. Dengan atribut hijau-hijau mereka yang khas, mereka melambai-lambaikan tangan dan berteriak lantang ke arah kendaraan yang melintas. Letih karena diabaikan, akhirnya beberapa orang merapat ke arah penjual nasi goreng, "mas mau dong dibungkusin."

Mamang-mamang PKL yang sudah terlanjur takut kemudian menyiapkan sejumlah porsi untuk mereka bawa pulang. Setelah dibungkus rapi dengan cekatan supporter persebaya tadi langsung berterima kasih pada sang penjual dan berharap dimaklumi atas perbuatan mereka, "uang saku dua puluh ribu kami sudah habis pak. Nggak ada uang lagi, ini tinggal nyegat truk barang buat balik kampung."

Mendengar keluh kesah mereka mengenai klub, latar belakang, dan sedikit opini tentang Bandung, saya yang duduk di deretan meja PKL makin dibuat takjub saja, terutama ketika mereka hanya bermodalkan sedikit uang untuk melancong ke luar kota.

Meski saya sebelumnya sudah mendengar bahwa Ridwan Kamil menyiapkan akomodasi gratis untuk mereka, tapi tetap saja sepuluh ribu kali dua hari untuk transport dan makan tidaklah cukup. Tentu perlu taktik ekstra seperti apa yang tadi mereka lakukan untuk tetap bertahan.

Hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah sebagian besar mereka yang ikut dalam rombongan belum cukup umur, ada anak-anak SD kelas enam dan SMP. Saya sendiri tidak terlalu tahu apakah orangtua mereka betul-betul mengijinkan mereka pergi atau mereka bermain petak umpet di belakang mengenai masalah ini.

Belum menghilang keheranan saya, beberapa oknum tidak lama berulah dengan bertindak tidak sopan para pengguna jalan, terutama kaum wanita. 

Melihat yang mereka lakukan tentu banyak orang sudah dibuat geram dan kemudian buru-buru memberikan stereotype buruk pada kelompok supporter lokal, padahal akar dari permasalahan supporter sendiri sangatlah kompleks. Sama halnya dengan hooligan di luar negeri, mendukung tim olahraga adalah salah satu bentuk aktualisasi diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun