Sarah terpana melihat sosok asing berkemeja koko putih dan bersarung tenun cokelat kotak-kotak di hadapannya. Dengan kedua alis terangkat, ia bertanya, "Maaf Bapak ini siapa, ya? Kok bertamu di rumahku tepat saat berbuka puasa? Teman Mama?"
      Haji Abdul menganggukkan kepala. Ia tersenyum jengah bagaikan perjaka tingting. Wajahnya merunduk dalam-dalam bagaikan ingin bersembunyi di lubang kelinci. Semburat merah menjalar dari pipi hingga ke lehernya. "Bukan teman biasa, tepatnya teman istimewa ... "
      Mendengar hal tersebut, Sarah membelalakkan kedua matanya. Bel tanda bahaya langsung berdering nyaring di seisi kepalanya. Ia mengunyah tempe dengan ganas seolah-olah tempe itu Haji Abdul yang lugu. Tak kurang dari lima cabai rawit langsung dimasukkan sekaligus ke dalam mulut mungilnya. Ia berharap rasa pedas akan menyadarkan dirinya dari keinginan untuk menghardik pria tua yang kembali bertingkah belia ini. Padahal cinta tak memandang usia. Tapi, gadis yang sedang jengkel itu mana peduli filsafah cinta tersebut. Demi kesopanan, ia pun bertanya, "Bapak mau buka puasa bersama kami?"
      Tanpa menyadari gejolak emosi yang berkecamuk dalam diri gadis berdastar merah muda itu, Haji Abdul malah mendeham dan berkata, "Terimakasih tawarannya. Kau tidak perlu repot-repot. Bapak akan berbuka puasa di Warung Siti. Bapak hanya ingin menyampaikan bahwa setelah Shalat Tarawih, keluarga Bapak akan berkunjung ke sini sebentar. Bapak ingin mempersunting Eva, ibumu yang manis itu. Mau ya jadi anak Bapak? Nanti kau akan punya 3 kakak baru yang baik hati," bujuk Haji Abdul dengan penuh harap. Tawa bahagia mengakibatkan wajahnya yang penuh dengan keriput, lebih muda 10 tahun.
      Sarah pun tersedak tempe dan cabai rawit yang sedang dikunyahnya. Setelah meneguk segelas air teh yang masih terlampau panas hingga lidahnya terasa terbakar api neraka, ia berkata dengan agak terengah. "Be ... benarkah? Apa kata Mama?"
      Bukannya menjawab, Haji Abdul hanya tersenyum lebar. Tatapan matanya begitu penuh arti sehingga hati Sarah mencelos. Jangan-jangan Mama sudah menerima lamaran pria tersebut. Bukankah mamanya menyatakan calon suaminya berusia sepantaran, yaitu 60 tahun? Tapi tampaknya pria yang tersenyum lebar di hadapannya ini berusia hampir 80 tahun? Sarah tahu sekali tipikal pria idaman sang mama. Kalau bisa dapat berondong, tentu mamanya sudah menikah dengan si pemuda. Ia pun teringat pertengkarannya dengan mamanya tahun lalu.
      "Ma, berkacalah! Masa Mama hendak menikah dengan Hendar yang usianya 30 tahun? Usianya setengah usia Mama," ujar Sarah penuh amarah. "Aku malu sekali seluruh tetangga menggunjingkan Mama. Emak ganjen! Begitulah mereka menjuluki Mama."
      Eva mengalihkan perhatiannya dari baju kurung Bu Imas yang sedang diperbaikinya. Ia membuka kacamata dan berkata dengan nada sesendu kucing yang ketahuan mencuri ikan asin, "Sarah, kau tahu kan Mama ini sudah tua?"
      "Justru itu. Mama tak tahu diri. Sudah tua mengapa pacaran dengan berondong?"
      Eva menghela napas. Selalu saja kembali pada topik yang paling dibencinya. Ia merasanya dirinya ialah Juliet yang memperjuangkan cintanya pada Romeo. "Cinta itu tak mengenal usia. Hendar pemuda yang tampan dan baik hati. Ia sangat mencintai Mama. Kau tak iba pada mamamu yang sudah renta ini? Tubuh Mama serasa rontok seluruhnya setelah menjahit seharian. Mama ingin ada pendamping yang kuat fisiknya."