Mohon tunggu...
Siswanto Danu Mulyono
Siswanto Danu Mulyono Mohon Tunggu... profesional -

Usia sudah setengah abad. Semua orang akan mati, tapi tulisannya tidak. Saya Arsitek "freelance" lulusan Unpar-Bandung. Sambil bekerja saya meluangkan waktu untuk menulis karena dorongan dari dalam diri sendiri dan semoga berguna untuk siapapun yang membacanya. Sedang menulis buku serial fiksi "Planet Smarta" untuk menampung idealisme, kekaguman saya terhadap banyak hal dalam hidup ini, bayangan-bayangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di depan sana yang menarik kuat-kuat pikiran saya untuk mereka-rekanya sampai jauh dan menuangkan semuanya dengan daya khayal saya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

IQ, EQ, SQ dan Ideologi, Parameter Sisi Gelap dan Terang Dalam Diri Manusia

23 November 2010   21:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:21 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12905475401913188143

Ungkapan lama mengatakan, bahwa manusia adalah binatang yang bisa berpikir. Logika dari ungkapan itu adalah: kalau manusia tidak menggunakan otaknya untuk berpikir, maka ia bisa dikatakan tidak ada bedanya dengan binatang. Tetapi yang lebih fatal dari itu adalah: Justru karena pikirannya, manusia bisa berbuat lebih rendah daripada binatang! Jadi pikiran tak lebih dari sekedar alat yang bisa dimanfaatkan sekehendak hati oleh mahluk yang menguasainya. Di jaman modern ini, tingkat kecerdasan pikiran itu sering diukur dengan istilah IQ (Intelligent Quotient). Makin tinggi IQnya, makin cerdaslah ia, tetapi sekali lagi, IQ ini tidak ada kaitannya dengan perilaku baik atau buruk seseorang.

 

Istilah IQ muncul sekitar awal abad 19, dipopulerkan oleh Alfred Binet (1857 – 1911). IQ adalah tingkat kemampuan mahluk hidup, khususnya manusia, dalam hal berpikir: mengerti persoalan, merencanakan sesuatu, berabstaksi/berkreatifitas, memecahkan masalah, menggunakan bahasa dan belajar.

 

Disamping IQ, dikenal istilah EQ (Emotional Quotient/Kecerdasan Emosional). Istilah EQ muncul sekitar tahun 1994, dipopulerkan oleh Daniel Golemen dalam bukunya “Emotional Intelligence”. Daniel Golemen menjelaskan, bahwa tingkat keberhasilan seseorang (berhasil dalam karier dan hidup seimbang) ternyata tidak hanya ditentukan oleh IQ saja, bahkan IQ hanya dihargai sekitar 20% saja, dan selebihnya ditentukan oleh EQnya. Dengan EQ, manusia menggunakan perasaan dan nalurinya untuk mengubah hal yang buruk menjadi baik dan bisa berempati (merasakan keadaan) orang lain pula. Semakin tinggi EQ seseorang, ia menjadi mahluk cerdas yang berperasaan lembut dan halus atau dengan kata lain: ia menjadi mahluk sosial yang boleh diharapkan perannya untuk ikut andil dalam memberi arah kemajuan dunia seideal mungkin.

 

Belakangan (awal abad 20) muncul pula istilah SQ (Spiritual Quotient) yang dipopulerkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya “SQ, the ultimate intelligence” – 2001. SQ ini merujuk pada kemampuan manusia untuk memperoleh pencerahan guna memuliakan jiwanya. Dengan SQ, manusia memaknai setiap peristiwa dalam hidupnya dan mengambil hikmahnya untuk memuliakan jiwanya. SQ ini lebih merujuk ke arah nilai-nilai spiritual yang memberi arti sangat tinggi dalam menilai sebuah kemajuan. Percuma seluruh usaha dan karya manusia yang tak punya makna spiritualitas di dalamnya, ia hanya seonggok karya yang siap untuk dimusnahkan tanpa bekas. Spiritualitas adalah ukuran keabadian. Semakin tinggi SQ seseorang, ia memiliki potensi untuk menghasilkan karya-karya besar yang abadi karena ia menerjemahkanhubungan vertikal manusia dengan Sang Khaliknya yang hidup dalam dirinya dan yang menjiwai seluruh jagad ini selamanya.

 

Sampai pada hari ini, rata-rata tujuan pendidikan di sekolah-sekolah kita boleh dibilang lebih banyak bertumpu pada persoalan IQ. Orang menjadi bangga luar biasa ketika disebut ber “IQ” tinggi, padahal bisa saja ia adalah calon orang paling berbahaya di dunia ini. Kalau penjahat itu goblok, maka baru nyolong sedikit sudah babak belur dihajar massa dan mati, habis ceritanya. Tetapi kalau penjahat itu cerdas seperti yang banyak bertebaran di negeri ini, he..he..he.., Negara diambang bangkrut karena dikorup habis-habisan sementara rakyatnya celangap semua saking takjubnya karena tak terpikir oleh IQnya yang (maaf) rata-rata jongkok atau bahkan tiarap, gawat…

 

Tetapi membuat sekolah itu memikirkan EQ dan SQ juga, bukanlah pekerjaan mudah. Masalah utamanya adalah guru-guru dan menterinya sendiri belum tentu punya tingkat EQ dan SQ yang memadai. Para sarjana itu kan cuma dipatok dengan ukuran IP (Index Prestasi), yaitu tingkat penguasaan ilmu di bidangnya. Masih mending kalau IPnya murni hasil kerjanya sendiri, jangan-jangan hasil akal-akalan juga atau malahan beli. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kehadiran seorang guru yang memiliki EQ dan SQ cukup tinggi di sebuah sekolah; boleh dikata murid-murid di sana mendapat berkah kemuliaan yang melebihi emas permata, karena ia memperoleh bekal berkualitas tinggi untuk menjalani hidup yang benar. Coba bayangkan, betapa malunya seorang guru yang menemui kenyataan bahwa muridnya itu ternyata menjadi seorang koruptor kelas kakap atau selebriti norak! Ia bisa menangis di dalam hatinya kalau ternyata ia punya EQ dan SQ cukup tinggi karena ia telah merasa gagal total.

 

Tempat yang paling pas untuk tumbuhnya EQ dan SQ yang baik adalah keluarga dan lingkungan pertemanan yang harmonis dan saling mengisi serta menjaga satu sama lain. Di dalam keluarga, masing-masing individu lebih mudah diamati secara mendetail. Disinilah pentingnya peran orang tua yang bijaksana. Kalau orang tuanya sendiri rata-rata kurang perhatian kepada anak-anaknya atau malah lupa kalau punya anak, maka anak itu sendiri telah kehilangan sosok penting yang diharapkan bisa memberi arah pertumbuhan EQ dan SQ. EQ dan SQ itu adalah benih yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ibarat tanaman, ia tak bisa tumbuh sendiri meskipun anda selipkan lima puluh ribuan setiap hari di dalam potnya. Ia butuh dirawat dengan benar dan dengan teliti. Kalau anda hanya punya uang, sebaiknya anda juga memilihkan lingkungan yang pas untuk anak-anak anda, karena itu juga sama artinya anda membeli seorang perawat yang benar dan berdedikasi baik. Setidaknya anda telah berusaha mengalihkan tanggung-jawab kepada orang yang anda anggap tepat untuk mendidik anak anda. Justru yang banyak terjadi adalah: Orang tua sudah tak punya biaya untuk anaknya dan malah dijadikan alasan untuk tidak berbuat sama sekali mencari akal yang kreatif agar anaknya tetap memperoleh hak-haknya semaksimal mungkin. Akibatnya, makin banyak anak keleleran sesukanya di jalan-jalan atau malah dijadikan senjata untuk meminta belas kasihan orang lain dengan cara menjadikannya sebagai pengemis cilik. Ini kenyataan pahit yang harus mendapat porsi perhatian pemerintah melalui Dinas Sosial. Jadi Dinas Sosial itu bukan sekedar kerja kalau ada bencana, karena ancaman dari degradasi moral akibat semakin banyak anak-anak yang telantar atau sengaja ditelantarkan bisa berdampak lebih mengerikan daripada bencana alam.

 

Sudah cukupkah punya IQ, EQ dan SQ yang tinggi atau cukup tinggi? Ternyata belum! Ada satu hal lagi faktor internal dalam diri manusia yang terbentuk karena faktor eksternal sejak kecil dan sangat mempengaruhi langkah hidupnya, yaitu Ideologi atau cita-citanya.

 

Sejak kecil anak sering mengidolakan pahlawannya, entah itu bapaknya sendiri, tokoh-tokoh dalam komik/game, dll. Itu semua ternyata punya pengaruh besar dalam pembentukan karakternya di kemudian hari. Ia mempunyai target “ideal” yang diam-diam terselip di dalam hatinya, sesuatu yang ingin ditirunya. Ia bahkan dengan sadar atau tanpa sadar berusaha terus-menerus mengarahkan seluruh kemampuan IQ, EQ dan SQ yang dimilikinya untuk membidik target tersebut. Para teroris, misalnya, rata-rata punya IQ dan SQ yang tinggi, cerdas dan berani mati membela keyakinannya. Lalu tiba-tiba saja dunia dikejutkan oleh apa yang dilakukannya. Bagaimana mungkin seseorang yang dianggap begitu “brilian” luar dalam melakukan tindakan yang sangat brutal seperti itu? Itulah pengaruh ideologi atau cita-cita yang dianutnya, yang diam-diam telah menjadi petunjuk arah kuat dalam tindakannya di kemudian hari. Oleh sebab itu, jangan lupakan faktor luar yang akan membentuk kepribadian seseorang, ia bisa merampas segala hal yang dimiliki orang tersebut, termasuk jiwanya. Disinilah pentingnya pendidikan dasar formal diadakan, selain sebagai wadah untuk mengembangkan IQ, EQ, dan SQ ke arah yang positip, ia juga diharapkan bisa memberi lingkungan yang baik untuk mengarahkan cita-cita seorang anak didik dan tempat bergaul yang baik pula. Sudahkah pendidikan dasar di Negara kita mematok kurikulum yang pas untuk mewadahi semua tugas penting tersebut? Atau hanya sekedar mengejar angka-angka rapor yang membutakan mata hati semua anak didik, guru dan orang tua? Semoga kita selalu dan tak pernah berhenti mengkritisinya dengan cara-cara yang santun dan beradab, bukan dengan cara saling memaki dan mencari kebenaran sendiri-sendiri. Semua ini agar hidup manusia bisa menjadi berkah untuk diri sendiri, sesama dan lingkungan dan bukan malahan jadi beban bagi kemanusiaan.

 

Diulang sekali lagi: Manusia itu memiliki ketiga jenis kecerdasan: IQ, EQ dan SQ dalam taraf yang relatif tinggi sedangkan binatang dalam taraf yang rendah atau malahan tidak punya sama sekali, terutama tidak punya SQ, karena… he..he..he.., jangan-jangan ada binatang yang IQ dan EQnya lebih tinggi dari kita-kita ini! Semua orang pasti akan marah kalau dibilang tak ada bedanya dengan binatang. Dikatakan mirip saja sudah pada mendelik, apalagi dibilang sama persis, ngajak ribut namanya! Salam.

 

*************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun