Mohon tunggu...
Mohamad Akmal Albari
Mohamad Akmal Albari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Tata Negara

a piece of life, chill out!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Hari Pers: Pembredelan, Netralitas dan Tantangan Era Disrupsi

10 Februari 2023   14:46 Diperbarui: 10 Februari 2023   15:02 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrai reporter mewawancarai narasumber/Pexels

Pers atau jurnalis memiliki peran penting sebagai aktor penyebar informasi, etika informasi yang dirumuskan haruslah aktual dan faktual. Kemarin, 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional, ketetapan ini berlaku atas Keputusan Presiden (Kepres) No. 5 Tahun 1985.

Pemerintah menjadikan momen tersebut mengingat lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946.

Menulusuri jejak pers di Indonesia, PWI yang diusung sebagai organisasi tunggal profesi jurnalis mempunyai latarbelakang politik presiden Soeharto. Pers berjasa layaknya aktivis informasi, sejak adanya surat kabar "Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen" Indonesia masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1744.

Kebijakan Gubernur Jenderal Gustaff Willem Baron van Imhoff pada 7 Agustus tahun itu menjadi peluang pemberitaan politik Batavia. Profesi pers selalu dihadapi kecaman berbagai pihak, apalagi jeratan UU ITE sekarang.

Upaya demokratisasi melalui pers pernah dibredel saat jaman Soeharto, media Tempo, Detik, dan Editor tahun 1994 tidak didukung oleh PWI. Sikap PWI yang politis saat itu, menghasilkan organisasi Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) sebagai rival PWI.

Media-media itu di sanksi atas pelanggaran administratif, kita tahu jaman itu Pers tunggal oleh RRI dan suara parlemen didominasi oleh Golkar. Disini lah kriminalitas pemerintah terhadap institusi pers menunjukkan pemerintah yang otoriter.

Pers yang memiliki kode etik independen, oleh PWI terlihat sikap politik yang mendukung. Maka, keberpihakan adalah tugas jurnalis dengan independen. Salah jika mengartikan suatu pers atau berita itu harus netral, karena mengibaratkan jurnalis yang acuh tak acuh pada kesimpulan yang pembaca dapatkan.

Jelas, teriakan "jurnalis itu netral" adalah bias pandangan, tampak membiarkan pembaca berasumsi dan gamang. Bisa jadi, mereka yang berteriak seperti itu memiliki keberpihakan atas afiliasi yang didapat.

Idealisme jurnalis dalam menyampaikan kebenaran tanpa ada pengaruh dari seseorang sulit diterapkan di Indonesia. Industri media yang dikuasai konglomerat selalu mengendalikan opini publik yang menyudutkan orang-orang lemah.

Isu rakyat dan isu elite harus dipertimbangkan bagi pers, semakin banyak isu elit yang muncul akan mengabaikan kondisi rakyat yang berkembang. Selayaknya pers secara ideal menyelamatkan orang kalangan bawah yang tertindas atas status quo, keberpihakan seperti itu menangkal bahwa pers harus netral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun