Mohon tunggu...
Mohamad Akmal Albari
Mohamad Akmal Albari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Tata Negara

a piece of life, chill out!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konten Kemiskinan: Simpati atau Eksploitatif?

23 November 2022   22:29 Diperbarui: 23 November 2022   22:48 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam dunia digital, orang-orang diberi kemudahan untuk mempublikasikan apapun. Apalagi sosial media penuh dengan segala hal-hal yang jarang diketahui. Terkecuali konten negatif yang nantinya akan terjerat UU ITE. Tapi, sadarkah ketika melihat satu konten aktris, influencer, content creator atau siapapun berbicara kemiskinan akan terbujuk nurani menjadi sedih. Tidak dipungkiri, mereka sejatinya memiliki pribadi yang tulus dan ikhlas untuk membantu orang-orang miskin.

Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2022 terdapat 26,16 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia. Angka yang tidak kecil jika dibandingkan keseluruhan total penduduk Indonesia 275, 3 juta jiwa per 30 Juni 2022. 

Demikian, khalayak umum pasti iba ketika melihat fenomena kemiskinan suatu daerah, beberapa membantu, sebagian lainnya acuh dan bodo amat. Orang-orang yang membantu dan menyalurkan dana kepada kaum miskin patut diberi acung jempol atas kerelaan harta yang ia miliki.

Banyak sekali kisah-kisah inspiratif orang yang bersedia membantu kaum miskin menjadi sukses. Mereka yakin bahwa konsep penyucian harta adalah dengan memberi dan membantu orang-orang yang tak mampu. 

Beranjak dari itu, keanehan muncul dalam membantu kaum miskin tersebut. Kisah orang-orang miskin dalam program TV, content creator yang penuh konten memberi, bahkan aktris sekalipun menjadikan kaum miskin untuk objek menaikkan rating dan popularitas. Seringkali bertujuan untuk dipredikati “penyelamat kaum miskin” atau “konten heroik”.

Gejala Poverty Porn

Kalau kamu suka lihat media atau konten manapun jangan dulu berikan simpati, kenapa? Bisa saja mereka yang membuat itu tidak benar-benar membantu loh. Memberikan uang atau harta itu baik, lebih baiknya tahu akan ketimpangan yang menjadikan kemiskinan itu. 

Istilah “poverty Porn” oleh peneliti Melissa Anne, Universitas Texas dijelaskan sebagai konten atau berita tentang kesengsaraan kaum miskin tanpa tahu dan menjelaskan faktor struktural, lalu dibungkus kerja keras mereka untuk keluar dari kemiskinan.  

Tidak habis pikir, orang-orang yang menderita kemiskinan tentu merasakan kebahagiaan dan terharu atas bantuan orang lain, tapi itu sementara dan semu. Hari ini mereka mendapatkan uang untuk kebutuhan pokok, besoknya mereka harus kerja banting tulang lagi. 

Sedangkan orang yang membantu dan publikasikan konten mereka di sosial media memperoleh popularitas dan adsense. Para pembuat konten tidak tahu apa yang sebenarnya yang dihadapi kaum miskin, sekilas memberi berharap publik bersimpati.

Tidak ada pembahasan lanjut dari pembuat konten untuk memperbaiki masalah kemiskinan, karena tujuan mereka hanyak konten dan konten. Bisa saja kaum miskin yang sudah berkerja siang dan malam tidak cukup untuk mensejahterakan kebutuhan pribadi. Atau mungkin kebijakan pemerintah yang benar-benar menyudutkan suatu warga agar terusir dan digantikan untuk tempat para pemodal (ya, kapitalis).

Bisa dilihat di negara Afrika, berapa banyak penduduk kelaparan, kekurangan air, menderita dan tersiksa oleh kemiskinan. Beberapa media lagi-lagi gagal meliput isu-isu kemiskinan sebagai karya jurnalistik. Penyorotan terhadap kaum miskin agar masyarakat luas simpati sekadar informatif belaka. Upaya untuk membongkar permasalahan sungguh dibungkam dan dinafikan.

Perawatan isu penduduk kemiskinan lewat di layar kaca terbilang nihil, mau bagaimana pun bisnis media belum bisa mandiri seutuhnya. Dari satu media ke media lain saling menyalin pengetahuan isu kemiskinan tanpa membahas “apa selanjutnya?” dan “adakah diskusi untuk meminimalisir kemiskinan antara warga dan media?” barangkali idealisme jurnalistik yang mulia kian surut dan kering.

Coba kita lihat salah satu aktris kaya yang mengkontenkan bantuan terhadap orang miskin, nyatanya permasalahan kemiskinan memang tidak bisa diselesaikan semudah itu, malah-malah membuat konflik ketika ia dimintai oleh orang miskin ke rumahnya. Ini bisa jadi ekspolitatif, kemiskinan jadikan daya keuntungan ekonomis pembuat konten, cerita orang miskin merupakan potensi pemerasan digital untuk simpati publik.

Lho, niat mereka membantu bukankah hal mulia dan terpuji, bahkan setiap agama menaikkan derajat orang-orang seperti itu. Tentu betul, kesalahan ada pada kepentingan pribadi membuat konten kemiskinan tanpa memikirkan dampak secara signifikan bagi kaum miskin. Berharap-harap agar lebih dibantu pada oleh khalayak umum, berakhir pada kekecewaan atas ekspetasinya. Jadi, hati-hati lain kali membuat konten kemiskinan ya!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun