Kesederhanaan hidup membuat banyak  orang merasa bahwa tak perlu berambisi apapun terhadap dunia ini.
Cukupkan dirimu dengan apa yang kamu miliki.
Berbahagialah dengan apa yang ada dan melekat padamu.
Dan berbagai agama mengajarkan itu. Karena uang adalah akar kejahatan. Bahwa bersedekah akan membuka pintu rejeki.
Sayangnya semua konsep itu menguap dalam kehidupan sehari-hari. Ketika masuk dalam komunitas keluarga, tetangga, organisasi dan lembaga kita bekerja, semua pesan baik, etika, nilai hidup terbentur. Terbentur dengan emosi saat anak bandal, saat biaya sosial meninggi karena banyak pesta, bahkan dengan angka-angka biaya sekolah anak, tagihan listrik dan semua tetek bengek.
Berbuat baik butuh jalan berliku, tersingkir , sesekali ditertawakan , bahkan dianggap anti sosial.
Apakah saya harus berhenti???
Pohon adalah mahluk hidup yang perlu diajak ngobrol, disentuh, dipanjat dan dirawat. Pengalaman pribadi membuat saya perempuan tua bangka sesekali memanjat pohon mangga dan jambu depan rumah. Mengajak ngobrol, membiarkan mereka tumbuh memberi kerindangan pada sekitar. Termasuk menyumbang kesegaran udara.
Sayangnya, tetangga menganggap lebatnya pohon di depan rumah saya adalah sebuah hal yang asing. Banyak menyarankan untuk ditebang. "Mamak-mamak jangan panjat." Apakah saya harus berhenti melakukan yang saya anggap baik????
Berbelanja kebutuhan ikan dan sayur ke toko tetangga membawa plastik/tas sendiri dilihat asing oleh para ibu. Saya hanya tersenyum saja. Peduli amat apa kata mereka. Tidak bisa seratus persen menghentikan penggunaan plastik, minimal saya mengurangi penggunaan tas plastik.Â
Saat membeli nasi padang, saya selalu katakan nggak usah pakai tas kresek. Penjual bingung. Apakah saya harus berhenti? Sejauh ini saya masih melakukan itu. Saat mencuci berbagai tas kresek dari plastik di halaman rumah, para tetangga bisik-bisik."Mau dijual ke botot/pemulung!" Percuma punya mobil....ha..ha...