Jika di tempat lain sering turun hujan emas, maka di rumahnya sendiri hanya kebagian hujan batu.
Begitu yang dirasakan Kanaya dari tahun ke tahun dalam hidupnya.
Tetangga sebelah kanannya, baru saja merenovasi rumahnya. Tak usah dilihat bagian depan yang wah dan megah, bagian dapur saja membuat "terbit selera." Plafon triplek berganti gipsum, lemari duduk berganti lemari gantung--orang menyebutnya kitchen set--hingga pemilik rumah tak perlu khawatir menyimpan masakan yang selesai di masak, dijamin tikus tak akan menggasak.
Tetangga sebelah kiri yang dulunya teman akrabnya sendiri--walau kini sudah tak-- telah lama memiliki gelang emas, besar-besar, berbaris dari pergelangan tangan hingga mencapai siku. Ia seperti istri sultan saat acara-acara nikahan, pengajian, dan hari-hari besar.
Sedang Kanaya, hanya menjadi penonton untuk setiap pencapaian saudara-saudaranya.
***
Siang itu cuaca sedang cerah-cerahnya. Kanaya didatangi seorang pelanggan yang ingin beli minuman kemasan.
Melihat warung yang isinya tak seberapa, jiwa lelaki yang sehari-hari bekerja di bank plat merah, bagian pinjaman ini bergetar.
"Buk, posisi warung ini bagus, sangat strategis: di persimpangan, dekat keramaian, di samping ada sekolah, di depan ada perkantoran. Buatlah warung ini terlihat penuh hingga menarik mata orang-orang yang lalu lalang. Jika tak ada isi, jangankan orang, lalatpun enggan mendekat."
"Kalau Ibuk mau (maaf ya, saya bukan maksa), datanglah ke bank, ambillah pinjaman sepuluh juta saja dulu, sebagai permulaan. Kami beri keringanan pembayaran 3 tahun, bunga 0.2 persen perbulan. Hanya Rp304.000/bulan. Sisihkan Rp100.000/ hari dari penjualan, sederhana, kan?"
Tanpa pikir panjang, Kanaya memberi persetujuan, ia ingin orang-orang melihatnya dengan "dua belah mata."
Pinjaman cair, Kanaya membaginya menjadi tiga bagian. Sepertiga dibelikan barang dagangan, sepertiga cincin untuk menaikkan status sosial, sepertiganya lagi untuk tabungan, berjaga-jaga andai nanti tak mampu bayar.