Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tahukah Anda Santri pun Bisa Jatuh Cinta?

17 Maret 2017   19:09 Diperbarui: 18 Maret 2017   22:00 2791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi foto pribadi sahabat santri, abdul hakim siregar

Ada pandangan yang agak bertolak belakang dan berlebihan dalam memandang atau menilai santri pondok pesantrenan. Terutama, tamatan pondok pesantren yang masih mengaji kitab kuning sebagai kitab daras (buku teks) dalam belajar-mengajar. Yang utamanya, dibimbing kiai atau tuan guru pesantren. 

Pandangan pertama yang beranggapan seluruh santri adalah manusia shaleh, alim, wara, dan baik. Tanpa salah sedikit pun. Sehingga, kalau ada kesalahan di pesantren, sedikit pun itu dianggap tidak manusiawi.

Sebaliknya, pandangan kedua yang menatap santri pesantren seluruhnya buruk. Secara nasional dianggap sumber kemeresotan. Dalam lingkup internasional, pesantren dicurigai kamp "teroris?" Pandangan yang memburuk-burukkan pesantren berlebihan tidak hanya orang luar pesantren. Bahkan, sebagian oknum yang pernah menyantri. Namun, berhenti di tengah jalan. Atau sama sekali tak dapat mengambil sisi positif pesantren. 

Malahan seorang santriwati pesantren pernah menunjukkan kepada saya tentang novelnya, kisah cinta di pesantren. Dia mengira, aku kaget membacanya. Padahal, bagiku apa yang diceritakan bisa terjadi. Apalagi itu di masa remaja. Meski tentunya, saya tak setuju dengan kelakuannya?

Dua pandangan di atas agak berlebihan dalam memandang santri pesantren. Kurang proporsional. Jadi, agak kita lebih adil dalam memandang santri pondok pesantren yang lebih manusiawi. Bukan Malaikat, bukan pula "ibilisisme?" Tapi, manusia biasa yang berpotensi baik-buruk, sekaligus. Ada ruang, waktu, kedaan, lingkungan, dan pilihan hidup yang tersedia. Apalagi, santri sebagai makhluk yang ber-Tuhan. 

Jadi, agar bahasan sedikit agak mudah dirasakan, marilah kita ambil contoh tentang cinta atau jatuh cinta di pesantren. Umumnya, para santri remaja yang sedang bertumbuh dan berkembang secara psikologis. Satu di antara ciri remaja dalam buku psikologi perkembangan ialah mulai menyukai lawan jenis. 

Saya kira, setiap orang remaja-dewasa, minimal sekali dalam seumur hidupnya pernah mengharapkan lawan jenisnya. Tak terkecuali orang pesantrenan. Tentu saja, dalam batas-batas yang tidak menjurus pelanggaran moralitas agama, norma, dan hukum. Hal itu perlu diberi pemahaman kepada remaja bahwa masalah remaja, bukanlah khas kini. Melainkan, dari dulu, kini, dan mendatang bisa jadi positif-negatif?

Kadang, beberapa orang yang sudah dewasa, orangtua, guru, dan agamawan memetuahi persoalan pergaulan remaja atas pengalamannya masa lalu. Maksud saya begini, seorang agamawan berapi-api menyatakan pergaulan remaja kini kelewat batas, dan pergaulan bebas. Sambil mengutip berita gosip. Aku, kadang berpikir, bagaimanakah ia dulu semasa remajanya? Kalau ia berbicara dengan rendah hati kepada para remaja dan berupaya memberikan pemahaman yang lebih menyentuh hati. Tentu, itu hal yang sangat dianjurkan, karena banyak remaja pun butuh bimbingan. 

Tapi, kadang tidak. Kita yang sudah dewasa, seakan lupa masa lalu dalam memperlakukan remaja? Atau sebaliknya, orangtua berlebihan tanpa melakukan kendali atau dialog terhadap kebaikan remaja. Remaja dibiarkan saja atau dibebaskan seperti umumnya di Eropa Barat yang maju.

Aku rasa, kita perlu mengambil jalan tengahnya. Dengan rendah hati. Serta pasrah kepada Tuhan. Berdoa. Agar kita dapat memperlakukan remaja atau melewati masa remaja secara positif. Terutama terhadap lawan jenis.

Suatu kali seorang Ibu agak menyombongkan kealiman putrinya kepada saya. Putrinya, tamatan pesantren. Alim. Tak seperti kebanyakan gadis. Putrinya, tidak berpacaran. Ya. Lalu, aku tanya, apakah Ibu tahu, ia pernah menaksir pria, sejak dari SLTP-SLTA? Setahuku, tidak sama sekali.  Kalau benar itu terjadi, jelasku. Mungkin, putri Ibu belum dewasa atau mungkin ia sedikit agak kurang normal. Si Ibu spontan menimpali. Bukan begitu maksudku. Memang, semasa SLTA ada pria sebaya yang berupaya mendekatinya. Namun, ia menolak. Nah, itu baru agak umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun