Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harapan Hidup Tunda Dulu Sebelum Bunuh Diri

20 Maret 2017   19:06 Diperbarui: 20 Maret 2017   19:27 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Intisari, Ade Sulaeman

Seorang klien menelepon konselornya, ia akan mengkhiri hidupnya. Siterapis, berupaya memahami sudut pandang pasiennya. Dan mengerti maksudnya. Ia katanya dapat memaklumi hasrat bunuh diri yang direncanakan kliennya itu. Cuma, ia hanya berharap waktunya saja ditunda. Si klien yang frustrasi mengiyakan setuju, menunda dulu motif bunuh dirinya. Belakangan pasien itu mengubah jalan pikiran atau perasaannya sampai ia sembuh dan membatalkan hasrat bunuh dirinya.

Itulah, psikologi harapan yang disampaikan psikolog agar kita menunda dulu. Atau dalam bahasa agama, sabar dulu. Apalagi kala motif emosional yang impulsif terus mendorong bertindak. Yang secara instingtif mirip hewan: bertempur atau kabur. Lebih, amigdala membajak jalan pikiran neokorteks. Maka, dalam situasi darurat emosional itu. Kita perlu mengendalikan diri. Salah satunya dengan, menunda.

Itu misalnya, tentara di Amerika Serikat tak diizinkan protes dalam keadaan marah. Ia diharuskan tidur. Baru setelah itu, dapat mengajukan keberatannya. Para hakim di pengadilan, tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan marah. Jadi, kalau kita marah sedang berdiri. Duduklah! Kalau marah lagi duduk. Silakan tenangkan dengan, berbaring. Jika marah dalam keadaan berbaring, tidurlah sementara. Saat bangun, mandi. Berdoalah kepada Tuhan agar dapat menolong kita agar dapat mengendalikan marah atau putus asa lainnya.

Jalan Pikiran 

Sejak kanak-kanak, kita kerap menunjukkan goresan luka kecil kepada orangtua. Syukurlah kalau orangtua secara bijak dan empati memerhatikannya, tanpa harus terlalu mencampuri. Namun, banyak orangtua mengabaikan luka kecil anaknya. Atau malahan menentang perasaan anak. "Luka kecil begitu tak usah diributkan," sanggah sebagian orangtua pada anaknya. Lantas begitu luka atau sakit anak parah, barulah orangtua cemas berlebihan. Malahan, menawarkan hingga mewujudkan permintaan si anak asal sembuh. Seakan mendapati perhatian kasih atau sesuatu barang mesti sakit dulu. Itulah kata sejumlah anak di sekolah dasar saat saya tanyai, "Apa yang kalian peroleh kala sakit?" Semua diminta disahuti jawab anak-anak, serentak.

Selangkah lagi setelah remaja dapat menyakiti diri untuk mengundang simpati atau belas kasih orang lain. Itulah di antara kenapa remaja curhat terkait dengan kisah-kasihnya yangh malang agar beroleh simpati orang lain. Orangtua dalam konteks di atas tak sepenuhnya disalahkan. Itu lebih sisi manusiawi kita yang lemah dan mudah tergoda setan. Lebih kita sudah berpendidikan kita. Seharusnya lebih dapat menyelami jalan pikiran dan perasaan kita sendiri agar lebih positif dan produktif.

Hentikan

Kalau kita lebih menyelami diri dengan rendah hati dan pasrah pada Tuhan. Kita dapat mengendalikan jalan pikiran atau perasaan kita yang negatif dan protektif yang menghambat kemajuan kita dalam hidup ini. Kerangka pikiran dan pengaruh perasaan kita sedemikian kental. Sesuai dengan banyak aspek yang melingkupi, dari genetik, pengasuhan, pendidikan, lingkungan, ekonomi, politik, dan bahkan cuaca, udara, dan tanah tempat lahir kita.

Kita juga dapat menghentikan jalan pikiran atau perasaan negatif dengan terlibat secara sosial dalam amal sosial. Apalagi, agama. Dengan mengembangkan sikap baik, dermaw2an, toleransi, pemaaf, dan pelayanan kepada orang lain. Jalan pikiran yang buntu. Biasanya, akan terurai.

Mungkin, yang memiliki anak. Membayangkan senyuman dan tawa anak dapat menyetop niat buruk yang terbersit. Tapi, yang paling utama ialah beriman dan beramal baik dapat menghentikan pikiran atau perasaan jelek kita.

Mulai kini, tekanlah tombol "off." Lalu, nyalakan tombol "on" yang lebih positif, bijak, dan baik dalam pikiran. Untuk sementara, tundalah motif 'bunuh diri' kalau sudah pernah terbersit. Semoga tidak demikian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun