Mohon tunggu...
Sintong Arfiyansyah
Sintong Arfiyansyah Mohon Tunggu... Penulis - Pegawai Negeri Sipil

Membaca dan menulis bagian dari hobi saya, kadang membuat sebuah artikel di media massa, dan kadang membuat review film, games dan buku di media sosial. Suka sekali sama dunia fantasi, seperti dunia imajinasi Eichiro Oda, JK Rowling, George R.R Martin hingga Tolkien.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kasus Penyuapan Mahasiswa Baru di Unila, Mencederai Saya sebagai Mahasiswa dan Pendidikan Indonesia

21 Agustus 2022   15:35 Diperbarui: 21 Agustus 2022   15:47 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Miris, tentu menjadi kata pertama yang terucap ketika membaca apa yang menjadi alasan oknum pejabat Unila tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut informasi dari KPK, mereka mematok kisaran angka 100 -- 350 juta rupiah per mahasiswa agar diloloskan untuk masuk ke Unila melalui jalur seleksi mandiri.  

Sekali lagi, kondisi ini menggambarkan masih bobroknya oknum pendidik, yang tentu ini bukan sembarangan oknum karena pelakunya adalah pucuk tertinggi pimpinan kampus tersebut. Kasus ini pun diusut KPK karena ada beberapa korban yang melaporkan adanya penyuapan ini, dan bila tidak korban yang melaporkan, saya rasa kasus ini belum terselesaikan.

Dalam prespektif ekonomi pasar, tidak ada transaksi yang terjadi ketika tarik-menarik antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) tidak menemukan titik temu. Hal ini mengambarkan bahwa adanya permintaan yang tinggi untuk masuk ke kampus tersebut, sehingga penawaran dengan kisaran 100 hingga 350 juta tetap menjadi pilihan orangtua mahasiswa untuk memasuki dunia perkuliahan. 

Fenomena ini laksana gunung es, yang siap mengerupsi kasus-kasus lain yang mungkin semakin menggelegar.

Apakah kasus ini lumrah? tentu saya tidak bisa memberikan sebuah kesimpulan. Tetapi desas-desus yang beredar luas memberikan prespektif yang menjurus kearah yang sama, bahwa perlu adanya "Biaya" tambahan bagi yang ingin memasuki sebuah kampus, terlebih itu adalah seleksi secara mandiri. 

Semuanya seakan tergenalisir bahwa sekolah itu selalu membayar, masuk ke suatu instansi pun selalu dibilang membayar, bahkan ada suatu cerita bahwa ingin menjadi buruh pabrik aja suruh membayar. Semuanya tentang membayar dan membayar.

Wong Ke Toilet aja membayar!!

Pahit dan Mencederai Hati saya

Pahit. Tentu saya merasa pahit. Ingin mengatakan bahwa itu semua tidak selalu benar. Bahkan belasan tahun yang lalu ketika masih menjalani Pendidikan Tinggi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang saat ini berubah menjadi PKN-STAN, saya pernah cedera hati ketika ditanya seseorang, "masuk ke kampusmu, uang pangkal bayar berapa?"

"nggak bayar kok pak" jawabku. Orang itu pun tersenyum kecut seakan tidak percaya.

"benar, bahkan kuliahnya saja saya tidak bayar," jawabku kembali, tetapi di dalam hati saja. Saya tahu pernyataan ini tidak akan mampu menggulingkan stigma negatif yang tercipta dan masuk ke sanubari orang tersebut. Apalagi ketika kasus yang disebutkan di awal kembali mengemuka, saya yakin stigma tersebut semakin mandarah daging dan terpatri di dalam hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun