Mohon tunggu...
sinta wahyu
sinta wahyu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakir Ilmu

Menulis, membangun sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semoga Kita Berjumpa Lagi

15 Maret 2022   17:13 Diperbarui: 15 Maret 2022   17:15 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memilikimu sebentar saja sudah cukup.

Jika memang hanya sampai di sini Dia ijinkan kebersamaan itu, kita bisa apa selain merajut kisah yang sudah menjadi selembar kenang. Tak mudah melupakanmu pun masa-masa yang telah bersama kita warnai. Meski doa-doa untuk menua bersama, namun jika kamu mesti pergi, aku pun mesti mendoakan diri untuk bisa berjumpa denganmu lagi.

Aku masih berharap? Ya, aku memang masih begitu berharap untuk bisa bersamamu lagi. Bukan karena terlalu cintanya aku padamu, atau tak ada yang bisa menggantikan tempatmu. Terlalu banyak kenang yang tak mudah dibuat hilang, jejak dua kaki yang tak mampu dihapus. Kamu adalah seseorang yang begitu pandai menciptakan kesan. Ketika harap pernah nyaris pudar dan tegar hampir runtuh, kedatanganmu menyelamatkannya. Ketika aku menunggu begitu lama tanpa tahu siapa yang sesungguhnya sedang kutunggu, kaudatang meyakinkan. Bahkan ketika ibuku sendiri tak yakin sempat tak yakin.

"Kapan Nduk?" tanyanya setiap kali. 

Beliau mungkin sudah jenuh mendengar jawabanku setiap kali juga yang selalu sama. Atau beliau sudah terlalu malu pada tetangga, putrinya tak kunjung berjodoh. Kita tidak akan merasai indahnya pertemuan sebelum tersiksa oleh lamanya penantian. Menanti sesuatu yang akan datang entah kapan. Pertemuan yang akan terjadi entah di mana. Sebagaimana musim kemarau yang membuat bunga bakung nyaris putus asa. Menggugurkan dedaun, mengeringkan tangkai, menanggalkan mahkota. Menyisakan inti umbi yang mengurung diri di dalam tandusnya tanah.

"Sabar, Bu."

Walau kadang aku sendiri juga ragu apa aku sesabar itu? Tak jarang di atas sajadah air mata ini berlomba dengan hitungan butir tasbih, bukan memohon disegerakan, tapi memohon yang terbaik. Aku bersyukur tatkala semua ciri kebaikan itu ada padamu.  Mungkinkah itu doaku yang terkabul? Jika demikian, aku pasti lupa berdoa diberikan umur panjang agar kita bisa menua bersama.

Hari itu datang.

Senyummu yang santun seperti bunga yang belum ingin mekar, namun aku sudah melihat indahnya. Manakala suaramu lantang tanpa mengulang, mengikat diriku di dalam akad. Burung-burung seolah berdendang merayakannya. Saat jemarimu menggenggam tanpa ragu seakan menyiratkan makna, engkau siap menjaga.

Salahkah jika aku mengandai kita bisa bersama lebih lama lagi? Belum tunai rasanya aku menjadi pendamping yang taat, sebab nyatanya kamu yang lebih banyak menurutiku. Begitu besar keinginanmu melihatku, melihat Fatih tertawa gembira. Asal kautahu, bahwa melihatmu datang adalah kegembiraan terbesar kami.

"Jangan sedih," pesanmu yang terucap dengan senyum.

Tangan kokohmu yang kini lemah, tetap berusaha mengusap puncak kepalaku. Itu tidak menentramkanku, justru membuatku menangis sejadi-jadinya seolah kamu sedang mengucapkan salam perpisahan. Kutoleh putra kita yang baru enam bulan lepas ASI, terlelap lelah karena menangis seharian. Mungkin dia ikut merasakan sakitmu. Bahkan jika tidak berdosa, aku ingin memohon Dia bagikan sakitmu itu untukku juga.

Aku kembali menatap Fatih.

Wajahnya banyak mirip denganmu. Dia juga yang menjadi alasan untukku tetap berdiri tegak meski jiwa serasa runtuh. Tak henti aku mohon ampun di setiap sujud karena serapuh ini saat diuji. Dia pula kelak yang akan menjadi pelipur hatiku saat merindukanmu.

Lima tahun Allah beri kesempatan kita bersama, lalu Dia mengambilmu bersama banyak penderita wabah penyakit yang lain. Kamu pergi dalam keadaan yang baik. Seorang anak yang berbakti, seorang suami juga seorang ayah yang baik. Kamu juga seorang hamba Allah yang taat. Semoga kelak Dia pertemukan kita dalam jannah-Nya.

"Bunda, ayah mana?"

"Ayah sudah pergi."

"Kenapa ayah pergi?"

"Karena Allah sangat sayang padanya."

"Kita tidak diajak?"

"Suatu saat nanti, Insya Allah kita akan bertemu dengan ayah lagi. Sekarang belum waktunya."

Wonogiri, 15022022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun