Mohon tunggu...
Isna Puryanta
Isna Puryanta Mohon Tunggu... -

Barangkali, sayalah guru gagal itu. Gagal setia pada keadaan menjadi suruhan pelaksanaan kebijakan. Gagal paham dengan arah kejujuran pendidikan. Dan gagal berpasrah pada buruknya keadaan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hati-hati dengan Orang Lain

12 Desember 2012   03:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:48 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa hari lalu, sepulang saya dan keluarga dari sebuah urusan, kami dikejutkan dengan hilangnya tempat sampah kami. Begitu masuk halaman, tempat yang biasanya menjadi tongkrongan tempat sampah itu kosong.

Tempat sampah kami berupa sebuah ember besar warna hitam. Usianya, seingat saya, kira-kira lima tahunan. Ia hadir bersamaan hadirnya anak bungsu saya, yang sekarang sudah TK itu.

Dalam rentang usianya itu, ia telah melayani keluarga kami begitu rupa. Tak sedikitpun ia mengeluh meski kami memasukkan apapun ke dalam mulutnya yang senantiasa menganga itu.Bahkan ketika tubuhnya sudah renta, compang-camping di sana-sini. Kondisinya sungguh jauh dari ketika kami hadirkan di rumah kami. Namun, ia tetap saja teguh dengan pelayanannya.

Beberapa hari sebelum ia hilang, kami sedang memikirkan untuk memberinya waktu beristirahat. Rencananya kami ingin menghadirkan penggantinya yang lebih muda. Pantas rasanya ia mendapatkan istirahatnya setelah pengabdiannya yang begitu panjang dan penuh totalitas. Dan saya kira, iapun akan dengan senang menerimanya.

Akan tetapi, begitulah hidup. Nasib memang tak pernah bisa dipastikan. Saat-saat terakhir sebelum kami mengistirahatkan dengan terhormat, ia raib. Tak sedikitpun jejak yang ditinggalkannya, kecuali sesal yang mendalam. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian kami.

Agak di sebelah kiri dari tempat si Hitam, begitu kami memanggil tempat sampah kesayangan itu, tergeletak sebuah bak air bekas yang di sana-sini berlumur noda semen. Ia tergeletak begitu saja dalam keadaan tengkurap.

Kami sibuk menduga-duga, dari mana bak air itu datang. Siapa yang membawanya ke halaman kami? Apakah ada hubungannya dengan hilangnya si Hitam? Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi ruang benak kami. Namun, sampai malam berganti hari, belum satu jawaban pun kami dapatkan.

Waktu itu, pagi baru mulai beranjak siang. Matahari juga belum terlalu tinggi.

"Buk, sampah!", terdengar teriak tukang sampah di depan.

"Oh, iya, Bang!", sahut istri saya sambil ke luar.

"Oh, iya, Bu, maaf.....kemarin tempat sampahnya saya angkut. Sudah rusak banget. Trus itu, saya bawakan bak air bekas buat ganti bak sampah!", kata si tukang sampah tanpa diminta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun