Mohon tunggu...
Sindi Darmawan Prasetyo
Sindi Darmawan Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca yang ingin menulis

Menulis sedikit tapi bermanfaat, karena memberi inspirasi lebih penting dari sekedar menjadi viral

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kritik Perpeloncoan sebagai Antitesis Metode Pembelajaran Mainstream

4 Maret 2020   10:29 Diperbarui: 6 Maret 2020   10:39 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar : ilustrasi perpeloncoam, sumber: pixabay.com/Alexas_ Fotos

77 siswa kelas VII Seminari Bunda Segala Bangsa (BSB) Maumere NTT, dipaksa makan kotoran oleh seniornya. Kejadian bermula saat senior pendamping asrama menemukan kotoran dalam plastik yang disimpan di lemari. Karena tidak ada yang mengaku meletakkan kotoran itu, dua senior itu lalu menyuapkannya kepada 77 siswa junior.

Kejadian tanggal 19/2/2020 tersebut mengingatkan publik pada sederet kasus pepeloncoan di lingkungan pendidikan, beberapa bahkan berujung kematian. Januari 2013 Praja IPDN, Jonoly Untayadi tewas dianiaya saat mengikuti orientasi. Desember 2013, Mahasiswa ITN Malang, Fikri Dolasmantya Surya tewas usai mendapat kekerasan saat mengikuti kegiatan Kemah Bakti Desa. Agustus 2019 Mahasiswa Universitas Khairun Ternate dipaksa meminum ludah saat ospek (liputan6.com/2/09/19).

Dalam banyak kasus, latar belakang pelaku praktik semacam itu bermotif mendisiplinkan junior.  Dilihat dari tujuan tersebut, tindakan tegas senior dalam mendidik junior dipandang sebagai antitesis dari metode pembelajaran persuasif.

Seorang filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel memperkenalkan gagasan dialektika. Ada dua hal yang dipertentangkan antara satu hal dalam konsep pertama yang diiyakan (tesis) dengan hal lain yang mengingkari kebenaran konsep pertama (antitesis). Pertentangan kedua hal tadi akan didamaikan menjadi konsep baru yang lebih ideal (sintesis).

Dalam metode pembelajaran. Banyak orang berpendapat bahwa lingkungan belajar yang mendukung dan cara penyampaian pengajar yang diterima baik oleh peserta belajar adalah cara yang paling efektif untuk membuat seseorang bisa menerima pelajaran baik. Hal itu kemudian diiyakan sebagai tesis.

Di sisi berbeda, pandangan lain menggambarkan sangkalan atas tesis tersebut. Cara yang tegas dan memaksa diberikan sebagai antitesis, bahwa dalam situasi belajar yang tidak kondusif dan penuh tekanan, sesorang akan lebih fokus menerima pelajaran dan berpikir lebih kritis untuk mempertahankan logikanya.

Logika antitesis cenderung mendasari senior dalam memperlakukan junior. Motif untuk membentuk karakter junior yang kuat adalah sintesis yang ingin dibuktikan dari cara ini.

Idealnya senior sebenarnya berharap junior merespon dengan melakukan hal sebaliknya. Rasanya tidak ada senior yang ingin juniornya tewas karena dianiaya, atau senior juga tidak ingin juniornya sakit karena makan kotoran. Yang diharapkan adalah junior yang tahan fisik dan mental dalam kondisi apapun.

Adanya sistem tertutup yang hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu memungkinkan praktik perpeloncoan ini. Dalam beberapa kasus yang terjadi di institusi pendidikan, seringkali kejadian terjadi di lingkungan atau kegiatan khusus siswa/mahasiswa di waktu tertentu, dimana senior menjadi pelaksana secara langsung. 

Lihat saja kasus makan kotoran di Maumere yang dilakukan senior sebagai pendamping asrama, atau kasus kematian mahasiswa ITN Malang saat mengikuti kemah yang dipanitiai oleh senior mereka. Dua kejadian tersebut juga berlangsung di luar jam belajar. Itu menggambarkan ada situasi dimana pengawasan pihak lain tidak bisa terlibat di sana.

Seringkali junior berada dalam posisi yang harus menerima. Alasannya karena kegiatan yang diikuti junior sudah menjadi tradisi atau syarat untuk diterima dalam kelompok. Contohnya kegiatan kemah yang dilakukan oleh mahasiswa adalah salah satu syarat yang harus dijalani oleh mahasiswa baru jika ingin menjadi anggota himpunan mahasiswa.

Karena alasan-alasan tadi ideologi antitesis untuk mendidik junior terus digunakan secara turun temurun.

Mencari cara lain dalam mendidik manusia sebagai antitesis pendidikan mainstream tidak sepenuhnya salah. Tapi setiap pelaku harus paham batasan. I Putu Ardika Yana, M.Psi, seorang psikolog dan dosen Universitas Tadulako menyebut bahwa kekerasan tidak akan pernah membentuk perilaku, tapi perilaku bisa dibentuk dengan ketegasan.

Ada batas yang jelas antara kekerasan dan ketegasan. Tegas adalah sikap dalam menunjukkan pendirian dengan alasan yang logis. Ada dasar yang jelas dalam bersikap tegas, seperti dasar ilmiah, norma maupun aturan yang berlaku. Sikap tegas harus memperhatikan dua sisi, sehingga pendirian yang ingin disampaikan bisa diterima dengan baik. Sedangkan kekerasan cenderung ditunjukkan sebagai emosi yang tidak memiliki dasar.

Sikap tegas yang disampaikan tanpa batas bisa berubah menjadi kekerasan, baik fisik maupun psikis. Kekerasan psikis bahkan berdampak lebih besar daripada fisik karena mempengaruhi mental secara jangka panjang. Perpeloncoan yang lebih banyak melibatkan praktik pressing psikis bisa mengarah pada kekerasan verbal.

Menurut Patricia Evans, penulis buku The Verbally Abusive Relationship, Expanded Third Edition: How to Recognize It and How to Respond, kekerasan verbal bisa berbentuk ancaman, candaan yang merendahkan, teriakan, pembatasan untuk mengutarakan pendapat, dan aksi menyuruh dengan sewenang-wenang.

Dampaknya bisa membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri, kehilangan antusiasme, bahkan depresi. Jika sudah demikian maka tujuan untuk membentuk karakter dan sikap mental yang kuat bisa sangat melenceng jauh.

Saat cara-cara persuasif tidak cukup efektif dalam mendidik seseorang, maka ketegasan diperlukan untuk memaksa penerimanya agar paham. Tapi juga perlu juga diperhatikan untuk memilih cara dan ujaran agar ketegasan tidak berubah menjadi kekerasan. Selain itu diperlukan pendampingan dan pengawasan oleh pihak-pihak yang lebih berkompeten untuk menetapkan aturan dan batasan agar kegiatan bisa lebih dipertanggung jawabkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun