Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gadis Kecil

3 Desember 2020   10:57 Diperbarui: 3 Desember 2020   11:04 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibuku itu seperti gadis kecil yang diseberangkan gerimis. Ada payung di tangan kanannya, tetapi masih juga ia menangis. Kenapa?

Si Gadis Kecil

Sesungguhnya, angkatan kami tak pernah diajar pengkajian puisi oleh almarhum penyair legendaris Sapardi Djoko Damono semasa kuliah dahulu. Padahal, satu angkatan persis di atas kami, sempat diajar oleh beliau yang konon setelah menjadi guru besar tidak lagi mengajar mahasiswa sarjana. 

Tapi, pada sekitar akhir tahun 2005 itu, musik yang dibuat dari puisi-puisi Sapardi sedang melejit, membuat kami merasa dekat dengan Pak Sapardi. Tidak hanya anak kampus sastra yang mengenalnya, musikalisasi puisi Sapardi bahkan seperti genre baru dalam dunia musik yang bisa dinikmati oleh siapa saja.

Gadis Kecil, itu adalah salah satu puisi Sapardi yang kemudian juga menjadi judul album musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Dua Ibu. Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati lagu-lagu di album ini, aku, ibuku, dan adik perempuanku baru saja menempati rumah baru. Rumah itu jauh lebih kecil dari rumah orang tuaku sebelumnya, tapi jelas lebih hangat dan melegakan karena berarti satu masalah berhasil terlalui.

Di rumah itu, aku mengawali lagi dunia mudaku dengan sisa-sisa kehidupan yang mengandung trauma. Kedua orang tuaku akhirnya bercerai juga setelah selama hampir 20 tahun hidup dalam rumah tangga yang dihiasi konflik kronis. Perceraian menjadi semacam tindakan eutanasia. Jika tidak dilakukan, bukan hanya mereka yang tidak mempunyai masa depan, terlebih adalah kami, anak-anak mereka.

Aku kini bisa menulis dengan tenang di rumah baru sambil mendengarkan lagu-lagu dari puisi Sapardi. Hujan di bulan Desember tahun itu hampir setiap hari turun. Aku sering duduk di teras rumah memperhatikan hujan, menunggu ibuku pulang, dan menghambur kepadanya siap menyantap apa pun yang ia bawa: kadang bakmi, sekadar gorengan, atau kopi ginseng favoritku.

Rasanya bahkan hampir sepanjang hidup aku menunggu ibuku pulang, di teras rumah setiap sore, seringnya hanya sendirian, menggiringnya masuk ke dalam begitu ia datang. Selalu ada saja yang dibawanya setiap pulang kerja, sejak kukecil hingga kuberanjak dewasa, semua itu tak berubah. Aku selalu senang jika ia datang, seperti ada perasaan tenang yang tak bisa kukatakan.

Ya, mungkin karena aku adalah tangan kiri ibuku. Secara harfiah, akulah yang mengibaskan tangisnya ketika ia mengeluarkan air mata. Aku tidak tahu mengapa sejak dahulu ia sering sekali menangis. Sejak kecil aku kerap mengibaskan tangis ibuku, persis seperti yang dilakukan tangan kiri si Gadis Kecil. Sementara itu, payung di tangan kanannya hanya bergoyang-goyang. Siapakah yang sebenarnya membuat ia menangis, payungkah atau gerimis?

Ada gadis kecil, diseberangkan gerimis

Di tangan kanannya bergoyang payung, tangan kirinya mengibaskan tangis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun