Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keluarga Literat

3 Oktober 2019   15:51 Diperbarui: 4 Oktober 2019   06:56 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com by henriquesaf

Sebagai ibu yang katakanlah literat, saya tidak serta-merta dapat membudayakan literasi dalam rumah, menumbuhkannya pada diri anak saya, jika saya pun tidak memiliki kesadaran, meskipun saya melakukan tindakan-tindakan yang saya pikir literat. Artinya, jika pada level selanjutnya, saya tidak mengajak anak saya berpikir, mengenalkan pada suatu pengetahuan, mengajarkan baca-tulis dan kecakapan hidup, praktis saya tidak melibatkannya dalam praktik literasi. Dalam hal ini, saya tidak mengembangkan dirinya sebagai seseorang yang literat.

Begitu pula, meskipun ada orang tua yang hanya lulusan SD misalnya, jika mereka mempunyai kesadaran yang tinggi akan literasi, bahwa literasi dapat meningkatkan kualitas hidup anak-anak mereka, tentu kesadaran ini dapat menggerakkan para orang tua tersebut untuk menjadi literat juga, kemudian menularkannya kepada anak-anak mereka. Kesalahan paradigma kita adalah salah satunya mengidentikkan kaum literat dengan pendidikan formal. Padahal, praktik literasi berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Kuncinya ada pada kesadaran.

Contoh konkret, saya punya seorang teman yang ayahnya tidak lulus SMP. Akan tetapi, sang ayah dapat dikatakan punya kesadaran yang tinggi akan literasi. Pendekatannya melalui sastra dengan salah satu bacaan favorit buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. 

Pada gilirannya, gairah literasi ini tertular pada sang anak. Teman saya itu pun menjadi penggila sastra dan kini berprofesi sebagai guru bahasa di salah satu sekolah internasional. Kalau dipikir, ia bisa saja tidak menjadi seperti dirinya sekarang ini jika melihat latar belakang orang tuanya. Tapi, kesadaran sang ayah, pada mulanya, telah menciptakan dan menumbuhkan budaya literasi dalam keluarga mereka. Orang tua dan anak sama-sama literat.

Praktik Literasi dalam Keluarga
Ada sebuah kajian baru yang disebut Kajian Literasi Baru yang memandang literasi sebagai praktik sosial. Salah satu konsep yang ada di dalamnya adalah praktik literasi. Dalam bahasa sederhana, praktik literasi adalah apa pun yang dilakukan orang dengan literasi. Praktik literasi melibatkan nilai, sikap, perasaan, dan hubungan sosial (Dewayani & Retnaningdyah, 2017).

Barton, Hamilton, dan Ivanic (2000) memberikan beberapa konsep penting untuk memahami literasi sebagai praktik sosial. Beberapa di antaranya adalah literasi dimaknai sebagai serangkaian praktik sosial yang bisa dirunut dari berbagai peristiwa yang melibatkan teks tertulis, terdapat jenis-jenis literasi yang berbeda dalam aspek kehidupan yang berbeda pula, dan praktik literasi memiliki tujuan tertentu dan terkait erat dengan tujuan sosial dan praktik budaya secara umum. Mengkaji literasi sebagai praktik sosial berarti melihat bagaimana aktivitas literasi berperan dalam sebuah situasi sosl (Dewayani & Retnaningdyah, 2017).

Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat dan dapat memberikan pengaruh yang besar bagi perubahan sosial (Lestari, 2012). Melihat praktik literasi dalam keluarga berarti melihat pula aktivitas literasi sebagai praktik sosial. Praktik literasi ini sangat bergantung pada konteks. Artinya, satu keluarga dengan keluarga lainnya memiliki praktik literasi yang berbeda. 

Konteks ini dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan dan budaya keluarga dalam rumah, latar belakang orang tua, ekonomi keluarga, dan situasi sosial lainnya yang tumbuh dalam sebuah keluarga. Dengan demikian, penerapan literasi terhadap anak juga tidaklah sama antara satu anak dan anak yang lain. Jenis literasi yang berkembang juga berbeda-beda dan bergantung pada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh keluarga tersebut.

Berdasarkan konsep ini, praktik literasi dalam keluarga tidak bisa distandardisasi. Setiap keluarga mempunyai aktivitasnya sendiri dalam membudayakan literasi. Di sini, tidak ada satu aktivitas yang dinilai lebih baik dari aktivitas lainnya antarkeluarga.

Mengajak anak ke perpustakaan sambil menemani ibunya mencari buku untuk tugas kuliah tidak dianggap lebih baik (baca: literat) daripada membantu seorang ibu yang penjaga warung melayani pembeli sambil belajar mengenal barang-barang dagangan dan hitungan. Memberikan buku bacaan dwibahasa berilustrasi kepada anak tidak dianggap lebih literat dari menyodorkan bacaan yang terdapat pada kertas pembungkus dagangan dengan maksud mengenalkan abjad kepada anak. 

Membacakan kisah The Gruffalo atau gadis penjual korek api sebelum tidur tidak lebih baik dari bercerita tentang pengalaman seorang ayah yang nelayan menangkap ikan di laut pada hari itu. Keadaan literat tidak bisa digeneralisasi dalam satu aktivitas literasi tertentu dari orang tua kepada anak. Hal yang terpenting dari keadaan literat adalah bahwa seseorang memiliki gairah belajar dan mampu mengembangkan pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun