Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keluarga Literat

3 Oktober 2019   15:51 Diperbarui: 4 Oktober 2019   06:56 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com by henriquesaf

Ketika itu, menyusui si sulung sambil membaca buku hasil disertasi para sarjana adalah pemandangan yang biasa dalam rumah kami. Pada momen tersebut, kadang saya merasa sangat beruntung. Mungkin saya sedang menularkan nilai-nilai literasi kepada anak saya lewat kegiatan memberi ASI. Konon, menyusui dapat membangun ikatan emosional antara ibu dan anak.

Pada saat anak saya berusia delapan bulan, saya mendapatkan beasiswa untuk meraih gelar magister dalam bidang kesusastraan klasik. Selain senang karena dapat belajar lagi sesuatu hal yang memang saya minati, sebagai ibu pekerja, itu artinya juga waktu mengurus si sulung yang masih bayi secara lebih optimal. Saya mendapatkan cuti belajar dari kantor selama masa studi tersebut, yaitu dua tahun. Tentu saja hal itu membuat saya bahagia. Ini adalah kesempatan yang baik untuk memulai babak baru dalam kehidupan saya, yakni menjadi seorang ibu.

Faktanya, saya melalui fase baru saya tersebut dengan banyak sekali belajar, menjadi pembelajar. Tetapi, belajar di sini artinya bisa sangat akademis, ya. Dengan pula berstatus sebagai mahasiswa, setiap hari yang saya lakukan tidak jauh-jauh dari urusan perkuliahan: membaca buku, mengerjakan tugas, menulis paper

Lama-kelamaan, aktivitas ini saya pikir baik juga untuk menumbuhkan budaya literasi pertama dalam rumah (baca: keluarga), khususnya kepada anak saya yang masih bayi. Sebagai gambaran ekstremnya, jika saya tidak sedang kuliah lagi, tentu saya tidak menyusui anak sambil membaca buku Hikayat Sri Rama karya seorang sarjana filologi misalnya, tapi kemungkinan besar sambil mantengi medsos via ponsel ala ibu-ibu milenial.

Budaya Literasi dalam Keluarga
Menurut saya, literasi tumbuh dari sebuah kesadaran, yakni mengembangkan kemampuan dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Hal ini tentu lebih dari sekadar memaknai literasi sebagai keberaksaraan. Adapun praktiknya bisa bermacam-macam disesuaikan dengan konteks. Dalam ruang lingkup keluarga, hal ini terkait erat dengan budaya dalam rumah, dan tentu saja, kebiasaan orang tua.

Ki Hajar Dewantara (1961) mengungkapkan bahwa pendidikan keluarga sebagai alam pendidikan yang permulaan merupakan pendidikan yang pertama kali. Dalam konsep pendidikan keluarga ini, orang tua berkedudukan sebagai guru (penuntun), pengajar, pemimpin, serta pemberi contoh dan teladan bagi anak-anak. Oleh karena itu, orang tua dan kebiasaannya adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan keluarga, termasuk pula penciptaan budaya literasi dalam rumah.

Kebiasaan orang tua menjadi penting mengingat ayah dan ibu ini adalah pusat literasi dalam rumah (keluarga). Mereka dituntut untuk dapat menciptakan nilai keluarga. Untuk satu tugas ini saja, orang tua sesungguhnya telah berperan sebagai pegiat literasi. Akan tetapi, kebanyakan orang tua tidak menyadarinya. Literasi menjadi sesuatu yang tampak berjarak karena kerap dikaitkan dengan intelektualitas. Padahal, literasi hadir sesederhana seorang ibu menulis di dekat wastafel sebuah kalimat aturan dalam keluarga, "Setelah makan, segera cuci piringnya sendiri!"

Ketidaksadaran peran dalam budaya literasi ini membuat orang tua sering kali membutuhkan pengondisian. Sebagai contoh adalah pengalaman saya. Jika saya tidak dikondisikan sekolah lagi, kesadaran saya untuk membudayakan literasi dalam rumah (keluarga) dan menumbuhkannya pada diri anak mungkin tidak setinggi ketika saya ternyata harus kuliah setelah menjadi ibu-ibu. 

Pengondisian ini pada akhirnya menciptakan kebiasaan-kebiasaan. Dari kebiasaan itulah, budaya literasi seolah muncul secara otomatis dalam keluarga kami. Sebut contoh, menyusui anak sambil membaca buku, menulis makalah sambil menggendong anak, mengajak anak ke kampus hingga membuatnya menunggu sang ibu selesai kuliah, hunting buku di perpustakaan sambil bawa-bawa anak, dan lain-lain.

Apa anak saya belajar sesuatu? Tentu, ya, meskipun kegiatan literasi tidak secara langsung saya ajarkan kepada anak, seperti seorang guru mengajar murid, mengingat anak saya ketika itu juga masih berusia di bawah dua tahun. Tapi, paling tidak, kebiasaan ini terekam dalam memorinya, dan kemungkinan akan dianggap sebagai kebiasaan si anak pula. Dalam hal ini, perilaku literat seolah tertransfer secara genetis.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana jika sebuah keluarga tidak terdiri dari orang tua yang secara standar dikatakan literat, seperti mempunyai gelar akademis tertentu yang menandai kualitas pendidikan atau memiliki profesi tertentu yang menandai keberhasilan mengembangkan kemampuan kecakapan hidup. Apakah orang tua yang katakanlah tidak dikondisikan untuk memiliki kesadaran dan mengembangkan budaya literasi dalam rumah seperti ini tetap bisa menerapkan nilai-nilai literasi dalam keluarga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun