Mohon tunggu...
Si Mufna
Si Mufna Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang Pemimpi, Tinggal di Kota Wali "Demak". \r\n\r\nMengikat ilmu dengan menulis. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karangtaruna, Riwayatmu Kini...

6 April 2014   01:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:01 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu sebabnya, kata psikolog UI, Wimarini dalam Kompas menyebutkan fenomena ini adalah dampak dari kurangnya wadah apresiasi dan kreasi untuk remaja yang ada di Masyarakat. Beliau juga mengatakan bahwa persepsi sebagian masyarakat menganggap Karangtaruna adalah kampungan. Mak Gleg.. berarti saya termasuk Kampungan :D, padahal saya tinggalnya memang di Kampung.

Saya meng-amini apa yang Beliau katakan. Di desa saya, kurang lebih ada 9 organisasi kepemudaan yang semuanya masih aktif sampai sekarang. Jaman memang berubah, budaya juga ikut berubah. Jika dulu setiap organisasi mempunyai anggota aktif mencapai 30 orang lebih, sekarang mencari orang 30 untuk ikut rutinan saja sudah ngos-ngosan. Biasanya, rutinan di adakan seminggu sekali dengan tempat digilir ke setiap anggota untuk menjadi tuan rumah. Dalam acara rutinan itu ada acara membaca tahlil, yasin, tabarok, asmaul husna, barjanji serta ditutup dengan doa dan dilanjutkan dengan diskusi atau bisa juga dengan mengundang pembicara untuk membahas masalah tertentu. Remaja sekarang diajak acara begituan? Wah langsung pada kaborrrrrrrrrrrrrrrrrrr… milih nonton sinetron dirumah.

Pernah suatu ketika saya mengajak anak tetangga saya untuk ikut rutinan, saya mendekati lewat orang tuanya. Pada waktu itu anaknya janji mau ikut dan akan menunggu di perempatan, setelah ku tunggu2 mpe jamuran eh.. ternyata orang tuanya datang dan bilang anaknya lagi dolan ma temennya barusan.. ( Wuasssemmm… saya di kibuli). Pada umumnya, orang tuanya sangat senang sekali jika anaknya bisa ikut Karangtaruna, tapi anaknya yang sulit dilobi (wekekekek. Kayak apa aja). Bahkan saya dapat cerita dari desa tetangga, pernah suatu ketika di bentuk organisasi Karangtaruna, setelah berhasil dibentuk dipilihlah ketuanya. Selang beberapa hari kemudian pasti kan ada acara rutinan. Pada waktu itu sang ketua terpilih yang mengantarkan surat undangan langsung ke anggotanya, dan respon anggota sangat “sadis”, ketika dikasihkan, undangan itu Cuma dilihat terus dikembalikan dan bilang begini “nih, undangannya tak kembalikan, ku bukan anggota Karangtaruna oq”. Setelah kejadian itu, sang ketua terpilih langsung Ngambek sampai sekarang, dia juga ikut-ikutan tidak aktif.

Ada satu kegiatan yang identik dengan Karangtaruna, yaitu jadi Laden atau pelayan ketika ada orang nikahan. Jasa inilah yang sampai sekarang belum tergantikan oleh organisasi manapun. Kalau ada, biasanya organisasi itu hanya membantu saja, bukan membuka jasa laden. Dari kegiatan laden itulah Karangtaruna mendapat pemasukan kas. Dalam sehari tarifnya kurang lebih 600ribu, bisa kurang bisa lebih tergantung negoisasi. Lha sekarang remaja juga diajak ikut laden ??? wakakakakakakka… siapa yang mau jadi pelayan?. Kalau udah punya acara nikahan, pada butuhin Karangtaruna, giliran anaknya diminta ikut Karangtaruna pada sibuk nyarialasan.

Karena semakin berkurangnya anggota dari waktu ke waktu dan kurangnya regenerasi, satu persatu pelan namun pasti beberapa Karangtaruna mulai bertumbangan.

Kita semua perlu khawatir

Jika saya kaitkan dengan fenomena cabe-cabean, memang perlu dukungan dari pemerintah kepada organisasi ini. Dulu ada dana khusus untuk Karangtaruna sebesar 5 juta tiap tahun, lumayan untuk membuat kegiatan seperti lomba-lomba. Sekarang, tiap anggota harus bersusah payah nyari donator, sponsor, dan seringnya harus tombok untuk menutup kekurangan biaya. Ini sudah menjadi makanan sehari-hari.Anak Karangtaruna sudah mempunyai semangat untuk ikut memberdayakan remaja agar mencintai dirinya, keluarga, agama, serta negaranya.

Cepat atau lambat, fenomena cabe-cabean pasti sudah menjalar ke kota-kota besar lain di Indonesia. Saya hanya khawatir, negeri ini semakin terseok-sekok oleh berbagai tantangan di masa depan yang semakin berat mengingat dibukanya perdagangan bebas serta bonus demografi. Semua itu harus didukung oleh sumber daya manusia yang unggul agar mampu bersaing dengan Negara lain. Bonus demografi jika tidak dimanfaatkan dengan baik, akan menjadi beban berat baik oleh individu lebih-lebih pemerintah.

Jika para orang tua, serta mereka yang berkepentingan terhadap kemajuan bangsa ini bersikap acuh tak acuh terhadap penyimpangan perilaku remaja saat ini, terutama di sekitar kita, maka bukan tidak mungkin, generasi di masa depan akan mewarisi kerusakan yang disebabkan sikap diamnya generasi saat ini.

Oleh karena itu kita perlu khawatir, peduli, dan coba lakukan sesuatu. Jika di daerah saya saja yang masih ada Karangtaruna masih saja ada remaja-remaja yang (mungkin) ikut cabe-cabean, apa lagi yang tidak ada Karangtaruna/ organisasi sejenis?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun