Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Peruntungan

6 Juni 2021   16:24 Diperbarui: 6 Juni 2021   16:31 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.popmama.com/

"Hati-hati, ada lobang," kataku pada kembaranku yang sedang menjejak trotoar, menuruni angkot dari arah Ciumbuleuit. Beginilah Kota Kembang. Mata penguasa kota merem kalau bicara pejalan kaki. Trotoar contohnya, jauh dari nyaman. Aku dan kembaranku mesti berhati-hati agar tidak cedera. Entah karena lubang menganga, onggokan sampah, akar pohon atau pedagang kaki lima yang dibiarkan menyerobot dan menguasai trotoar. Kami kerapkali mesti berjalan di bahu jalan raya dengan resiko keserempet kendaraan.

Tuan kami menghentikan angkot jurusan ledeng. Lumayan, perjalanan ini agak lama sehingga kami bisa beristirahat.

 "Aku masih sangsi dengan pekerjaan itu. Serius gitu Tuan kita?" tanya kembaranku.

 "Kalau denger gumamannya sih, begitu," jawabku.

 "Memang dia menggumam apa?"

"Kamu itu ya, coba dipasang pendengarannya biar tidak dikit-dikit nanya. Tuan kita itu bilang... akhirnya."

 "Cuman ngomong gitu dan kamu ngerti?" sergah kembaranku.

"Dengar dulu. Masih ada kelanjutannya. Dia bergumam tentang penghasilan dan Bahasa Inggris. Maka dia ngebet dengan pekerjaan ini."

Kembaranku manggut-manggut. Anggapanku dia mengerti. Niat bekerja Tuanku sebenarnya sudah terpupuk dari dulu. Bahkan ia sudah punya pengalaman bekerja jauh sebelumnya. Saat lulus dari bangku SMA, ia bekerja di penerbitan. Dikarenakan tidak tahu harus tinggal di mana setelah keluar dari asrama, ia meninggalkan surat pengunduran diri kepada pemilik kontrakan yang dipakai kantor penerbitan. Ia memilih pulang kampung. Praktis dia tidak dibayar dan memang tidak menuntut bayaran. 

Ia pun pernah bekerja di toko grosir makanan di Cirebon. Pekerjaan melayani pembeli, mengangkut kardus-kardus makanan dari toko yang satu ke toko lainnya menjadi pengalaman yang membuatnya menghargai sosok-sosok pekerja informal. Saat itu aku dan kembarannya berperan penting untuk mendukung tuanku mengerjakan pekerjaannya. Belum lagi sebelum seleksi masuk perguruan tinggi negeri ia sempat bantu-bantu bekerja sebagai tukang ampelas di proyek bangunan biara. Jadi bekerja bukanlah barang baru baginya.

Angkot kosong membuat Tuanku leluasa selonjor. Tentu kami senang karenanya. Setidaknya kami lebih rileks tidak perlu ditekuk. Semilir angin dari pintu angkot menyejukkan. Tak biasanya Tuanku tidak terkantuk-kantuk. Ia tampak merenung. Sesekali pandangannya beralih ke pohon dan bangunan di sepanjang jalan yang seolah berkejaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun