Aku menatap matanya. Sorot mata sedih dan kecewa. Terbesit perasaan iba.
      "Kita bicara setelah pulang sekolah?" kataku, tidak menjawab pertanyaannya. "Sekarang kerjakan quiznya," lanjutku.
Waktu 7 menit terasa begitu lama sampai bel pulang. Terpikir dalam benakku untuk mengajak Rino ke ruangan konseling, namun akan menarik perhatian siswa yang lain. Maka aku meminta siswa yang lain meninggalkan kelas, termasuk yang tugas piket.
Kudekati Rino. Kugeser kursi untuk bisa duduk berhadapan. Dia mengacuhkan aku. Tangannya sibuk memainkan pulpen. Kami terdiam. Aku mencari-cari kata yang tepat untuk kuungkapkan.
      "Tentang pertanyaanmu, tidak sepenuhnya benar teks itu tentang kamu. Tapi kejadian kemarin memang menjadi latar Bapak membuat teks tersebut."
      "Tapi tetap saja itu tentang saya. Pembohong, egois, pembully," sergah Rino. Dadanya naik turun menampakkan emosi. Matanya melihatku sekejap sebelum kembali menatap pulpen di tangannya.
     "Bapak tidak perlu menyindir saya lewat teks yang dibaca semua kelas. Kenapa tidak langsung bicara dengan saya!" tambahnya.
     Aku menahan diri untuk berkata-kata. Tak kusangka teks quiz yang terinspirasi dari kejadian futsal mengena perasaan Rino.
     "Tidak ada yang tidak menyalahkan saya. Semua guru yang masuk seakan menghakimi saya." Kata-katanya bergetar. Kulihat dia menahan diri untuk tidak menangis. Ia gunakan punggung tangannya untuk mengusap mata yang berair.
      Aku terdiam. Menarik nafas panjang untuk mengatur juga perasaanku.
     "Bahkan teman-teman pun menyalahkan saya. Padahal niat saya baik, untuk kemenangan kelas."