Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ricuh (2)

4 Maret 2021   09:40 Diperbarui: 4 Maret 2021   11:23 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: https://www.surfcoast.vic.gov.au/

                       Sampai kapan mereka memperlakukan aku seperti ini. Kalaupun aku berbeda dari mereka, tidak lantas mereka berhak mengambil apa yang sudah menjadi hakku seperti itu. Pernahkah mereka membayangkan posisi aku?

           Aku membaca kata demi kata di kertas yang kutinggalkan untuk Eko. Dari sebelum aku membaca curhatan anak laki-laki itu perasaanku sudah gundah. Bukan karena cuaca yang tidak bersahabat, tapi karena aku berempati dengan dia. Selama ini, dengan caranya Eko telah mencolok di kelasku dengan nilai-nilainya yang cemerlang. Karena itu pula tak kupungkiri mudah bagiku untuk mengingatnya, kelemahan seorang guru yang seringnya mengingat yang ter... terpandai, ternakal, ter...

           Dan semenjak mendengar kejadian futsal, pikiranku tak lepas dari Eko.

*****

Pernahkah aku menyakiti mereka? Tidak pernah. Pernahkah aku mengolok-olok mereka? Mana berani. Pernahkah aku berlaku sok dan menantang? Itu bukan caraku. Tapi dengan tidak melakukan apapun, kok mereka masih seperti itu? Tidakkah mereka tahu bahwa ketika namaku tercantum sebagai pemain, aku bangga dan merasa berharga. Bahwa kehadiranku disadari. Bahwa aku bagian dari kelas dan tidak semata menggenapi kelas menjadi 30 siswa. Sekalipun itu pun karena campur tangan Bu Wanti. Atau, semestinya Bu Wanti membiarkan siswa seperti aku tidak terlibat apa-apa? Ada tapi tidak terlihat? Nyata tapi tidak diakui.

           Bisakah mereka merasakan - itu pun kalau mereka punya perasaan, membayangkan - itu juga kalau mereka punya pikiran bahwa aku yang excited bersiap-siap tanding. Berharap menjadi bagian kelas. Tiba-tiba diganti. Dengan alasan yang menyakitkan: AKU TIDAK MASUK SEKOLAH! Bahkan kehadiranku di kelas pun tidak berarti apa-apa. Why should I come to school then?

           Aku menghela nafas, mengisi dadaku yang tiba-tiba sesak. Tulisan yang meluapkan kekecewaan dan amarah.

           "It must not be easy," bisikku. Aku melipat kertas itu. Menyelipkannya di map yang kubawa.

          "Thank you for trusting me. Hope I can help you," gumamku seolah-olah aku berbicara pada Eko.

          Menitipkan kertas ke pustakawan sekolah untuk diberikan padaku bagiku menjadi tanda bahwa Eko mempercayaiku. Dan tidak akan kusia-siakan kepercayaan itu. 

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun