Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

(3) Menghitung Rahmat: Selamat Jiwa karena Beasiswa

2 Maret 2021   15:44 Diperbarui: 4 Maret 2021   11:27 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixtastock.com

Pulang. Keputusan yang ditetapkan dalam sunyi, mandiri, tanpa terpa sapa siapa jua. Kalau aku merenungkan lagi, dalam situasi inilah jati diri itu dibentuk. MEMUTUSKAN.

Pendulum kemapanan studi di bangku sekolah lanjutan berkat beasiswa pendidikan bergeser pada ketidakteraturan manakala pulang menjadi pilihan. Kembali ke rumah, kembali ke relativitas cinta. 

Atas nama cinta aku dibiarkan begadang dengan tayangan televisi sampai acara tuntas. Atas nama cinta, aku bergelung sampai matahari terik menyengat bapak yang meladang. Dan atas nama cinta pula ijin setengah hati diberikan ketika tawaran bekerja mampir. Kembali keputusan itu diambil dan dilakoni.

"Nilai ujiannya tertinggi lho di sekolahan." Telingaku menangkap ucapan sepupuku yang mengajakku bekerja berbicara pada seorang ibu paruh baya. 

Sekalipun bangga mendengarnya, rasa itu tersaput malu manakala menyadari apa yang sedang kulakukan: mengepak barang-barang belanjaan pelanggan toko grosir makanan yang sedang bertanya-tanya tentang diriku sebagai pekerja baru. Nilai tertinggi tidak berarti apa-apa di tempat ini. Seiris rasa sedih melilit hati. Aku mengibas bayangan reaksi pelanggan tersebut atas penjelasan sepupuku.

Mengayuh sepeda menyusuri Kota Cirebon menjadi kesukaanku manakala toko sudah tutup. Tempat tinggalku adalah ruko tak terurus yang terpisah dengan toko tempatku bekerja. Ruko yang berseberangan dengan tempat tinggal perenang fenomenal Kota Cirebon yang tersandung kasus ini ditempati kami berlima - nenek dari pemilik toko yang hanya bisa berbaring, perawat nenek, dan 3 pekerja toko termasuk aku. 

Sepupuku perempuan tinggal bersama pemilik toko. Jarak ruko dan toko tidaklah terlalu jauh, bisa dijangkau dijangkau dengan jalan kaki ataupun sepeda yang disediakan pemilik toko. Berbeda dengan kota asalku yang bercuaca dingin, cuaca Cirebon cukup panas khususnya di siang hari. Sore menjelang malam hawa cukup bersahabat menawarkan kebebasan setelah seharian bekerja.

Memutuskan untuk bekerja tentu saja harus menerima apapun resiko dari pekerjaan tersebut. Jangan bayangkan kasur, selimut, makanan, hiburan dan kenikmatan lainnya seperti ketika masih di rumah. Keterbatasan dan kerja keras adalah jawaban dari keputusan itu. Apalagi toko ini adalah toko yang sangat laris dengan pelanggan yang antri menunggu pelayanan. Saking larisnya, pemilik toko memutuskan untuk membuka lagi satu toko di Jalan Pekiringan. 

Dalam proses persiapan toko baru inilah ekstra pekerjaan bertambah karena barang-barang jualan bersumber dari toko yang lama. Maka, acapkali kudapati pemandangan kuli angkut mendorong roda berisikan dus-dus barang, simpatiku muncul karena lakon itu pernah aku alami, sekalipun dengan status berbeda: lulusan terbaik. Ironis memang. Bersimbah peluh, dijarang terik matahari dan beban barang yang tidak bisa dianggap ringan, aku ambil bagian dalam penyiapan toko baru sampai toko itu pun diberkati pastor dan mulai beroperasi.

Apakah karena ijin orang tua yang setengah hati karena tahu upah yang kudapatkan, atau memang jalan hidup menggiringku pada keputusan berikutnya, aku tidak berlama-lama bekerja di toko grosir makanan tersebut. Permenunganku alam mengarahkanku pada persiapan menerima berita yang akan mengubah hidupku: BEASISWA.

Rohaniwan katolik yang hampir setahun yang lalu menawarkan beasiswa masih teringat padaku. Bagaimana beliau masih teringat padaku, aku tidak begitu yakin. Yang pasti kuingat, sekali aku pernah mengirimkan kartu ucapan selamat hari raya. Apakah karena kartu tersebut atau karena begitulah gereja katolik memperhatikan 'domba' dalam kawanan, melalui pastor paroki, tawaran beasiswa sampai ke telingaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun