"Again, your mark is not satisfying." Aku menyerahkan lembaran tes. Gadis itu hanya tertunduk sambil menerima kertas. Aku tidak tahu apa yang ada di benaknya. Terutama tentang Bahasa Inggris. Seberapa sulit pelajaran ini sehingga seringkali nilai-nilainya mendekati KKM.
*****
"Maaf, Pak." Sapaan itu mengembalikan kesadaranku.
"O ya, bagaimana? Lanjut?" tanyaku.
"Hmm, kalau boleh kami minta istirahat dulu. Sambil menunggu peserta berkumpul," jawabnya.
Aku menatap Yulia yang bercucuran keringat. Siswa yang selama ini hanya kuketahui dalam pelajaran Bahasa Inggris menunjukkan sisi berbeda sebagai pengurus OSIS.
"Bagaimana Ms. Vidya?'"tanyaku pada rekan juri debat.
"Baik juga kalau istirahat. Saya juga mau ke kantor guru dulu."
Aku menoleh pada Yulia, "Kita break saja dulu," ujarku.
Sementara Ms. Vidya ke kantor guru, aku menghitung perolehan skor debat tim-tim yang sudah bertanding.
"Kak Yulia istirahat dulu mendingan. Biar Fina saja yang cari peserta." Aku menguping pembicaraan Yulia dan temannya. Panggilan kakak membuatku tersenyum. Pastinya dua siswa bersama Yulia masih kelas 7.
"Fina saja yang di sini. Pastikan peserta yg sudah ada tidak pergi lagi. Nanda, kamu makan saja dulu. Biar Kak Yulia saja yang hubungi panitia di bawah untuk umumkan peserta debat."
"Tidak apa-apa, Kak? Dari tadi Kak Yulia naik turun lantai 3. Tuh sampai mandi keringat."
Aku tak mendengar jawaban Yulia. Keriuhan permainan futsal di lantai 1 membahana. Sepertinya ada yang menyarangkan bola.
Mataku mengekor Yulia yang meninggalkan ruang serba guna. Partisipasiku sebagai juri debat memberikan sudut pandang yang lain tentang dia.
"Mestinya aku cari cara agar dia pun belajar Bahasa Inggris seantusias dia mengelola lomba ini,' pikirku.
Aku termenung. Selama ini pandanganku tentang Yulia hanya dari nilai-nilai Bahasa Inggris yang kupakai sebagai ukuran untuk menakar kualitasnya.
"Mesti kucari caranya," gumamku.*** (Bandung, 29 Desember 2019)