Dua puluh satu tahun yang lalu, ini adalah hari pertama saya mendengar yang namanya kata "perang", pada usia tujuh tahun, saya masih ingat peristiwa itu bagaimana militer berkeliaran di jalanan Wamena, sebuah mobil lapis baja ditempatkan di dekatnya, pesawat yang terbang di atas kepala.
Berangsur-angsur keniscayaan tersebut membekas dalam benak menjadi perang dan perjuangan panjang yang membentuk hidup saya, dan menempa hasrat saya untuk kemudian hari memahami betapa dalamnya penderitaan di Papua yang berlangsung sampai dewasa ini berpuncak pada kejahatan kolosal.
Kompleksitas sejarah dan manipulasi status politik, ingatan kekerasan dan penderitaan merupakan permasalahan akut dan paling membekas dalam sejarah kekerasan dan penderitaan rakyat di tanah Papua.
Ingatan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah melalui kepolisian dan militer Indonesia diwariskan turun-temurun menjadi sebuah memoria passionis.
Rentetan panjang sejarah pelanggaran HAM telah mendorong masyarakat Papua untuk menamai perasaan dan pengalaman tak dilindungi dengan istilah "genocide". Istilah ini dalam hukum internasional disebut kejahatan paling serius atau the most serius crime yang dilakukan dengan sengaja maupun terencana yang menimbulkan dampak dan akibat yang luar biasa.
Meski secara teknis legal, genocide yang berkembang di Papua belum memenuhi syarat-syarat yang amat ketat, terutama terkait motif dan kebijakan negara serta jumlah korban.Â
Namun melalui sejarah kelam, inti perasaan dan tragedi kemanusiaan telah membentuk pengalaman pahit yang tidak bisa dilindungi dan dihindari, semakin kuat dari hari ke hari.
Berbagai reaksi dan protes masyarakat Papua terhadap pemerintah dengan meneriakkan tuntutan agar berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Papua diselesaikan dengan melibatkan tim independen internasional. Lantas apa yang dilakukan pemerintah? Nampaknya semua orang pura-pura tuli, membisu dan acuh tak acuh terhadap kasus-kasus kemanusiaan.
Menilik pada hasil kajian dari pelbagai lembaga studi dan penelitian. Misalnya, hasil riset ELSAM mencatat sebanyak 102 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Indeks kasus pelanggaran HAM bergerak dari fase stagnasi ke fase regresi. Kekerasan, penindasan, pembunuhan dan pembantaian lebih banyak dilakukan oleh polisi dan militer.
Berbincang mengenai pelanggaran HAM, kita tidak sekedar bersenda gurau dan berbasa-basi. Perkara ini cukup menarik perhatian para pembela dan pejuang hak asasi manusia di seluruh jagat raya, hingga menjadi isu yang mengglobal.