Mohon tunggu...
Bastanta Permana Sembiring
Bastanta Permana Sembiring Mohon Tunggu... -

Mejuah-juah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tulisan (aksara) Karo

4 Februari 2012   13:10 Diperbarui: 4 April 2017   16:35 4392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain itu aksara Karo juga dipakai sebagai media serta instrumen pengatar ilmu pengetahuan, adat istiadat, seni, surat tenah kerja(undangan), juga ragam hias pada rumah adat dan alat-alat musik tradisional, serta bahan pembelajaran(muatan lokal).

4.  Beberapa Faktor Penyebab Semakin Hilangnya Tulisen Karo

Dewasa ini, penggunaan tulisen Karo sudah sangat jarang, bahkan hanya tinggal sedikit saja orang yang mengerti dan mampu mempergunakannya. Hal ini mungkin diakibatkan imbas dari modrenisasi, islamnisasi dan kristenisasi yang tak terkontrol dan terarah.

Tergesernya keberadaan agama Pemena(kepercayaan tradisional Karo), yang kalah oleh modrenisasi, islamnisasi, dan kristenisasi yang gencar dan diperparah oleh imbas situasi sosial dan politik nasional(salah satunya pemberontakan G 30 S/PKI) juga merupakan salah satu hal utama yang mengakibatkan jarangnya penggunaan atau bahkan hampir punahnya(hilang) aksara Karo. Dimana kita ketahui, bahwa literatur-literatur berupa mangmang/tabas(mantra), ilmu mayan(bela diri), dan ketabib-pan yang notabene-nya ditulis dalam aksara Karo tidak lagi dipergunakan.

Meletusnya pemberontakan September 1965 yang dimana PKI(Partai Komunis Indonesia) dituding sebagai dalangnya(yang paling bertanggung jawab), sehingga pemerintah melakukan penyisiran hingga ke daerah-daerah terpencil(juga ke wilayah-wilayah Karo) untuk membasmi PKI dan ormas-ormasnya hingga ke akar-akarnya serta penangkapan terhadap aktivis-aktivis politik, sosial, bahkan aktifis pers, seni dan budaya, membuat masyarakat tradisional khususnya penggiat seni dan budaya daerah yang kala itu masih berpegang teguh dalam kepercayaan dan adat istiadatnya tidak memiliki pilihan lain, selain meninggalkan kepercayaanya bahkan identitas aslinya, maka timbulah kelompok masyarakat sosial dengan identitas nasioal yang dimana mengasingkan diri mereka dengan identitas asalnya, akibatnya timbulah identitas yang kabur. Hal ini diperburuk lagi dengan terbitnya undang-undang subvensi(UU No. 11/PNPS/1963 Tentang pemberantasan kegiatan subvensi) dan pencabutan SIUPP berdasarkan Permenpen No. 01/1984 Tentang Surat Izin Penerbitan Pers yang mengakibatkan banyak media-media lokal yang kala itu menjamur, satu-per-satu hilang.

Memasuki orde baru(pasca G30S/PKI), identitas agama pemena dianggap suatu hal yang rendah, bahkan pemeluk kepercayaan diluar agama yang diakui negara(Hindu, Budha, Islam, dan Kristen(Katholik dan Protestan)) sering diidentikkan dengan partisipan komunis. Sehingga berangsur-angsur para pemeluknya meninggalkannya dan beralih kepada kepercayaan moderen dan bahkan mengingkari identitas aslinya.

Perubahan bahasa pengatar dari Cakap Karo ke Bahasa Indonesia baik untuk komunikasi resmi, ilmu pengetahuan, pergaulan, dan keluarga(bahasa dan aksara ibu) yang didorong oleh giatnya pemerintah dan pemimpin daerah dalam memperkenalkan identitas nasional tanpa adanya kesadaran akan pentingnya tradisi dan kebudayaan daerah sebagai suatu kekayaan nasional, membuat seakan-akan hal-hal yang berbau tradisional dan kedaerahan itu dianggap memperlambat proses integrasi dan tidak lagi dibutuhkan di masa sekarang ini.

Hilangnya tradisi-tradisi budaya akibat dari kurangnya kecintaan dan rasa menghormati(“--- Oktober 1924 “Bangsa Karo” kaya karena memiliki sebuah adat, bahasa, dan aksara. Akan tetapi “miskin dan tidak layak, karena tidak menggunakan dan menghormati ketiganya”), yang didasarkan oleh over-nasionalisme, modrenisasi, islamnisasi, dan kristenisasi yang pragmatis meredupkan semangat kedaerahan, kepercayaan, bahkan anti kedaerahan.

Terpecahnya masyarakat adat Karo(identitas Karo) menjadi beberapa kelompok wilayah adat(1. Gugung(gunung)/teruh deleng: Kuta Buluh, Tiga Nderket, dll; 2. Karo Timur: Cingkes, Gunung Meriah, Bangun Purba, dll; 3. Karo Jahe/Karo Dusun(Deli-Serdang): Lau Cih/Namo Gajah, Delitua, Sibolangit, dll; 4. Karo Langkat/Karo Binge: Nambiki, Langkat, Serbanaman Sunggal, Tanjung Manggusta, dll; 5. Singalur Lau: Tiga Binanga, Juhar, dll; 6. Karo Baluren/Pamah Sigedang(Kab. Dairi), dan 7. Urung Julu: Suka, Surbakti, Berastagi, Sepuluh Dua Kuta, dll.) ikut mendorong kaburnya identitas Karo itu sendiri, sehingga tidak sedikit masyarakat Karo itu beralih, bahkan membentuk identitasnya sendiri serta sistem dan tatanan hidup identitasnya itu(tidak lagi didasarkan pada Adat Karo Sirulo, melainkan hasrat, kebiasaa, terkaan, dan kesesuaian dengan keinginan penguasa).

Gagalnya sistem pembelajaran bahasa dan aksara daerah akibat tidak adanya keseriusan untuk benar-benar memajukannya. Hal ini merupakan representasi dari tidak adanya rasa kecintaan, menghargai, dan keterbebanan untuk melestarikannya, bahkan di Kabupaten Karo sendiri sebagai sentral kebudayaan Karo sekarang, hanya sedikit masyarakatnya yang mengerti akan tulisen Karo, hal ini diketahui karena susahnya mencari sumber belajar(orang yang mengerti) akan aksara Karo, padahal di tahun 1998 saat saya ke Suban, Jambi, banyak teman-teman se-usia saya(saat itu masih SLTP) yang berasal dari daerah Deli-Serdang(Delitua, Talapeta, Talun Kenas, dan Penen) dan Langkat(Batang Serangen dan Namo Ukur) mampu mempergunakan aksara Karo dengan baik.

Tahun 1909 dimulai pembagunan jalan raya ke dataran tinggi Karo(Medan – Kabanjahe; Kabanjahe – Sarinembah – Kuta Bangun; Kabanjahe – Seribu Dolok – Pematang Siantar) Jalur Medan – Kabanjahe dimulai dari Arnhemia(Boven Deli/Pematangsiantar Karo), Sibolangit, Bandarbaru, dan Berastagi(selesai tahun 1913). Tahun 1911 merupakan awal dibukanya lahan-lahan pertanian sayur di dataran tinggi Karo, tahun 1914 layanan bis dua kali seminggu dibuka oleh beberapa perkebun(Medan – Kabanjahe, hingga 1918 dikatakan jumlah penumpang melebihi 6.300 orang) dan dilaporkan juga produksi pertanian di antara Kabanjahe dan Berastagi mencapai 150 ton/bulan maka untuk mendukung itu, secara resmi tahun 1915 dibuka jalur bis Medan – Kabanjahe yang melayani pengangkutan setiap harinya dan setahun kemudian (1916) didirikanlan bank-bank koperasi rakyat desa(dorpbanken), sehingga ditahun itu dilaporkaan 192 ton kentang(asal Karo) dikirim ke Pinang, 1.036 ton ke Singapura, dan 131 ton ke pulau-pulau lainnya melalui Pelabuan Belawan. Juga, kesuburan tanah ditambah keindahan alam dan kesejukan iklimnya membuat orang Eropa tertarik, sehingga sejak akhir dasawarsa pertama abad ke-20, Berastagi menjadi tempat wisata dan peristerahatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun