Beberapa hari yang lalu, seorang teman saya mengunggah story Instagram: sebuah foto tangan memegang logam mulia 0,5 gram dengan caption, “Gaji pertama, harus ada yang ditabung. Mulai dari yang kecil dulu ya!”
Dalam waktu kurang dari lima menit, saya melihat tiga story serupa. Ada yang beli 1 gram, ada yang pamer kotak mini dari Antam, ada yang lebih subtil: memotret dompet dengan kalimat, “Nggak semua kekayaan harus terlihat.”
Satu yang saya sadari: emas kembali naik daun. Tapi bukan cuma karena harganya sedang bagus, melainkan karena satu dorongan bawah sadar yang diam-diam menguasai banyak dari kita: FOMO alias Fear of Missing Out.
Ketika Investasi Bukan Lagi Soal Rencana, Tapi Tekanan Sosial
Mari jujur: berapa banyak dari kita yang benar-benar membeli emas karena pertimbangan matang soal diversifikasi aset? Dan berapa banyak yang melakukannya karena takut terlihat ketinggalan zaman?
Fenomena FOMO dalam investasi adalah paradoks zaman sekarang. Kita punya akses ke begitu banyak informasi, tapi justru mudah terseret arus. Emas, yang dulu jadi simbol tabungan nenek kita, kini berubah jadi gaya hidup baru. Ia hadir sebagai “pernyataan finansial” seakan membeli logam mulia adalah satu-satunya tanda bahwa kita melek investasi. Padahal, sama seperti aset lainnya, emas punya dua wajah.
Emas: Stabil, Tapi Bukan Satu-satunya Penyelamat
Sebagai safe haven asset, emas memang punya sejarah panjang sebagai pelindung nilai saat krisis. Ia tahan inflasi, tidak bergantung pada kinerja perusahaan atau kondisi pasar saham.
Tapi kita sering lupa: harga emas tetap fluktuatif. Bahkan bisa stagnan dalam jangka waktu lama. Dan berbeda dengan saham atau obligasi, emas tidak memberikan penghasilan rutin. Nilainya hanya naik jika dijual lebih mahal dari harga beli.
Celakanya, banyak orang membeli emas perhiasan dan menyebutnya investasi. Padahal, nilai jual kembali bisa turun karena potongan ongkos pembuatan. Di titik ini, kita sebenarnya sedang membeli gaya, bukan aset.