Mohon tunggu...
Silvester Detianus Gea
Silvester Detianus Gea Mohon Tunggu... Penulis - "Menulis untuk mengingat, merawat, dan mengabadikan." [Silvester D. Gea]
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah menulis buku bersama Bernadus Barat Daya berjudul “MENGENAL TOKOH KATOLIK INDONESIA: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara” (YAKOMINDO, 2017), Menulis buku berjudul "Mengenal Budaya dan Kearifan Lokal Suku Nias" (YAKOMINDO, 2018). Saat ini menjadi Wartawan komodopos.com (2018-sekarang). Penulis dapat dihubungi melalui email: detianus.634@gmail.com atau melalui Facebook: Silvester Detianus Gea.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta dan Sex

21 Mei 2019   07:18 Diperbarui: 21 Mei 2019   07:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: alex80 / Pixabay 

Mencintai dan dicintai merupakan tindakan yang wajar, dan sudah terjadi sejak dunia dijadikan. Tuhan menciptakan manusia karena cinta, begitu pun Ia memberikan cinta itu di dalam hati setiap orang. Pemberian Tuhan itulah yang membuat setiap orang bisa saling mencintai ataupun jatuh cinta.

Tentu pada mulanya cinta yang diberikan Tuhan mempunyai tujuan yang mulia. Maka Tuhan terlebih dahulu mengajarkan cinta kepada manusia, yaitu cinta tak bersyarat (AGAPE).  Namun setelah manusia jatuh ke dalam dosa, hilanglah cinta tak bersyarat itu dalam dirinya, menjadi cinta bersyarat. Setiap orang mencintai karena ada syarat misalnya saling suka atau tidak bermusuhan. Berbeda dengan Tuhan yang mengajarkan untuk mengasihi musuh bahkan mendoakan nya. Tindakan cinta bersyarat itu terus berlanjut turun-temurun, sehingga makna cinta yang sebenarnya mulai pudar.

Pada masa kini gambaran pudarnya makna dari cinta bisa kita rasakan ataupun saksikan. Banyak anak di bawah umur, remaja atau pun menjelang dewasa yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) sudah mulai memanggil 'papah' dan 'mimih' kepada pacarnya. 

Mungkin hal ini masih bisa dimaklumi karena mengikuti perkembangan zaman, atau dalam bahasa gaulnya disebut 'Kids Zaman Now". Tentu saja berbeda pergaulannya dengan 'Kids Zaman Old'. Bukan berarti mempertentangkan tetapi memang perkembangannya demikian adanya.

Namun yang menjadi perhatian kita adalah pantaskah panggilan 'papah' dan 'mimih', hingga dampaknya. Panggilan 'papah' dan 'mimih' seyogyanya digunakan sebagai panggilan satu sama lain antara suami dan isteri, dan bukan anak di bawah umur ataupun yang belum menikah. Bisa saja dalam pacaran ada panggilan istimewa atau spesial, namun kalau pengertiannya memakai panggilan suami dan isteri, maka kurang tepat.

Ada banyak hal yang tidak dapat dianggap wajar, misalnya melakukan hubungan seks di luar nikah, atas nama cinta. Tentu pemaknaan cinta dalam kasus tersebut kurang tepat. Akibat dari makna cinta yang kurang tepat itu banyak generasi muda yang putus sekolah karena hamil di luar nikah, atau terpaksa menikah karena sudah hamil duluan.

Maka dapat dilihat  orientasi dari cinta generasi zaman Now adalah seks. Padahal hubungan seks, hanya dilakukan oleh suami isteri yang sah, baik secara hukum maupun agama. Karena orientasi pemaknaan cinta menyimpang, maka banyak perkataan-perkataan yang muncul untuk menggambarkan seseorang, misalnya  cabe-cabean, Jablay, Mucikari,  dan lain sebagainya.

Ray E. Short dalam bukunya yang berjudul 77 Pertanyaan Aktual Mengenai Seks, Pacaran dan Cinta, berkata '... kenyataan bahwa pada usia masih muda, banyak anak sudah bisa melakukan hubungan seks, namun bukan berarti mereka mempunyai hak untuk melakukannya. Menurutnya, bisa saja seorang laki-laki menghamili seorang gadis pada usia belasan tahun, namun mereka belum mampu menjadi suami dan isteri.

Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Maka, dalam masyarakat seseorang tidak diperkenankan melakukan hubungan seks, atas nama cinta, sebelum pasangan yang bersangkutan menikah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun