Mohon tunggu...
Silvester Deniharsidi
Silvester Deniharsidi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Labuan Bajo

Tertarik pada isu-isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tantangan Demokrasi ke Depan Dalam Era Post Truth

28 April 2022   17:44 Diperbarui: 28 April 2022   18:19 1305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara-negara demokrasi saat ini dilanda dengan  yang disebut  post truth. Post truth sekarang sudah  co-existensi dengan demokrasi. Seolah-olah demokrasi tanpa post truth membuat demokrasi itu tidak menarik. Post truth membutuhkan demokrasi, karena hanya dalam demokrasi membuka ruang kepada setiap individu untuk mengungkapkan pendapatnya. Era post truth adalah suatu era dimana fakto objektiv tidak lagi menjadi landasan dalam menentukan opini tetapi dilandaskan pada emosi, perasaan dan keyakinan-keyakinan individu.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti; twitter, whatsapp, youtube, instagram, facebook saat ini adalah ruang terbuka bagi individu untuk mengirim emosi, perasaan dan keyakinannya. Informasi yang terkirim dapat saja tidak berdasarkan pada realita atau informasi yang isinya bohong. Kemajuan teknologi tersebut  di satu sisi sangat menguntungkan karena mempermudah pola komunikasi, namun pada aspek yang lain, membawa dampak karena informasi tersebut sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang bohong. Dalam era post trust, individu merelatifkan kebenaran itu sendiri secara subjektiv dan yang lebih parah menggunakan relativitas kebenaran itu untuk menyerang individu yang lain. Kebenaran yang relatif, yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya merupakan suatu bentuk kebohongan (hoax).  Kebohongan merupakan hal yang sangat manusiawi. Dalam sejarah perkembangan kehidupannya, manusia sudah hidup berdampingan dengan kebohongan. Walaupun demikian, tetap saja kebohongan itu dipandang sebagai sesuatu yang melanggar norma. Orang yang menyampaikan kebohongan disebut sebagai pembohong dan hukumannya, orang tersebut tidak dipercaya.

Tantangan demokrasi ke depan dalam era post truth

Salah satu aspek kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh post truth ini adalah aspek politik. Dalam era demokrasi saat ini, dampak budaya  post truth ini sangat besar bahkan dapat mempengaruhi proses-proses penyelenggaraan kekuasaan termasuk dalam pengambilan kebijakan. Bayangkan, ketika suatu proses kekuasaan dan kebijakan yang diambil berdasarkan kebohongan, maka hal itu akan membawa dampak buruk terhadap kebijakan yang akan diambil dan semua orang akan menanggung resikonya. 

Di negara kita sendiri, post truth masuk ke ranah politik sejak pemilihan kepala (Pilkada) daerah DKI Jakarta dan pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Dalam politik Pilkada Jakarta, begitu banyak berita bohong di media yang sengaja dibuat untuk menyerang lawan politiknya. Begitu pula dalam Pilpres 2019, ruang publik diisi lagi dengan berita-berita yang sama bohongnya. Berita-berita bohong itu digunakan untuk menjatuhkan lawan dan mendapatkan simpatik dari masyarakat yang luas. Yang lebih buruk, sasaran berita-berita bohong tersebut mengganggu kohesivitas mayoritas dan minoritas. Segala upaya dilakukan agar yang mayoritas mendukung salah satu calon yang sengaja diposisikan bersama mayoritas sedangkan calon yang lain diposisikan berseberangan dengan mayoritas.  Di dalam Pilpres, berita-berita bohong itu hadir dengan memposisikan yang satu anti Pancasila, komunis dan calon yang lain diposisikan yang demokratis, religius dan Pancasila-is.

Dalam aspek politik yang lain, para politikus juga sudah sering melakukan serangkain kebohongan. Janji-janji kampanye yang disampaikan di depan orang banyak agar memilih dirinya, tetapi ternyata begitu kekuasaan itu dipegang, janji-janji itu ditiup angin hingga tidak pernah terwujud. Karenanya politisi dianggap sebagai subjek utama dalam memperkuat post truth. Entah mereka sadar atau tidak, para politisi pada umumnya lebih banyak menyampaikan kebohongan daripada kebenaran kepada para pemilihnya. Bisa kita lihat di dalam pamflet-pamflet kampanye, para politisi itu memampang kata-kata yang mereka sendiri sudah tahu hal itu tidak akan terwujud. Dalam pemilihan yang sudah lewat sebelumnya, masyarakat hanyalah menjadi obyek untuk dibohongi. Sulit sekali bagi kita untuk menentukan, pernyataan-pernyataan yang benar dan bohong dari para politiwi. Walaupun demikian, para politisi itu tampil penuh semangat di kamera televisi, berbicara lantang kepada media tentang pernyataan-pernyataan politiknya. 

Panggung politik merupakan ruang massive lahirnya budaya  post truth. David Block dalam bukunya berjudul Post Truth and Political Discourse (2019) mengatakan dengan jelas bahwa ada satu bidang aktivitas manusia di mana paling banyak perselisihan tentang apa yang benar dan apa yang tidak, itu adalah dalam dunia politik. Lebih lanjut, Block mengatakan di dalam politik banyak ditemukan konspirasi, kebohongan, mengatakan sesuatu yang diketahui atau diyakini salah; menyesatkan (mengatakan kebenaran tetapi dengan maksud menciptakan interpretasi yang salah); omong kosong (penggambaran keliru yang disengaja dan menipu, tidak menunjukkan minat atau perhatian pada gagasan tentang kebenaran); dan tentu saja, penyebaran ketidaktahuan yang disengaja.

Keyes dalam bukunya berjudul The Post Truth Era (2004), menulis dengan jelas, bahwa banyak kebohongan politisi jauh melampaui penyamaran yang dapat dimengerti ke dalam ranah khayalan yang lebih sulit untuk dipahami, apalagi dimaafkan. Seperti yang telah kita lihat, penelitian telah mengkonfirmasi bahwa bakat menipu adalah hal biasa di antara para pemimpin. Hal ini dapat menyebabkan orang-orang dalam kehidupan publik untuk merangkul ketidakjelasan tertentu tentang konsep kebenaran.

Sebentar lagi, kita akan memasuki masa menjelang pemilihan presiden 2024. Genderang sudah mulai ditabu. Masyarakat akan kembali hirup pikuk terlibat baik secara aktif maupun pasif dalam proses tersebut. Kita mestinya belajar dari situasi yang terjadi semenjak Pilkada dan Pilpres sebelumnya, dimana masyarakat menjadi obyek dari penyebaran informasi ataupun berita bohong. Dalam Pilpres ke depan, bukan tidak mungkin para aktor akan melakukan hal yang sama, baik dengan materi ataupun dengan metode yang berbeda tetapi tetap tujuannya untuk memainkan emosi, perasaan dan agar individu-individu memiliki keyakinan sendiri dalam menentukan pilihannya.

Berdasarkan situasi yang ada, maka sangat penting untuk memperkuat masyarakat dengan berbagai literasi. Masing-masing individu ke depan harus memiliki kemampuan untuk tidak percaya begitu saja pada berita-berita yang provokatif, memiliki kecermatan dalam memahamai setiap informasi, tidak langsung percaya dan tidak hanya bergabung dalam satu group (exclusive) saja, tetapi lebih bagus kalau bergabung di banyak group media sosial sehingga akan ada informasi lain yang diperoleh.  Juga sangat penting untuk memahami aturan-aturan terkait yang membatasi kita dalam menyampaikan informasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun