Pendahuluan
Sudah lebih dari satu abad sejak Raden Adjeng Kartini menulis surat-suratnya yang menggugah dari Jepara, tepatnya sekitar tahun 1903.
Surat-surat yang pada awalnya merupakan korespondensi pribadi dengan sahabat-sahabatnya di Eropa itu, perlahan menjelma menjadi dokumen pemikiran yang membongkar kesadaran kolektif bangsa akan pentingnya kesetaraan, pendidikan, hak perempuan, hingga keadilan sosial.
Pemikiran Kartini bukan hanya melampaui zamannya, tapi juga terus menggema hingga hari ini terasa relevan bahkan di tengah era digital yang serba cepat dan terkoneksi.
Kartini adalah simbol, bukan sekadar sosok. Ia adalah narasi yang hidup dalam ruang perjuangan yang belum tuntas.
Apa yang ia suarakan lebih dari seratus tahun lalu---tentang ketimpangan peran gender, akses pendidikan bagi perempuan, kemiskinan struktural, dan kontrol budaya atas tubuh perempuan masih menjadi tantangan nyata di masyarakat kita hari ini.
Diskriminasi berbasis gender, ketimpangan upah, kekerasan terhadap perempuan, dan minimnya representasi perempuan dalam kepemimpinan publik merupakan beberapa contoh yang masih membelenggu.
Pemikiran Kartini juga telah menjadi inspirasi banyak tokoh besar, termasuk sastrawan ternama Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, yang menggambarkan Kartini bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai pemikir revolusioner yang layak disandingkan dengan tokoh-tokoh pembaharu lainnya dalam sejarah peradaban.
Bayangkan sejenak, kalau R.A. Kartini hidup di zaman sekarang, duduk di sebuah kamar berdekorasi buku-buku filsafat dan secangkir kopi panas, lalu membuka aplikasi TikTok di ponselnya.
Bukan untuk berjoget atau lipsync lagu viral, tapi untuk menyuarakan pikiran-pikirannya yang tajam dan progresif. Apa yang akan ia kampanyekan? Apa yang akan memenuhi linimasa digitalnya?