Saya ingin berbagi tentang salah satu kondisi psikologis yang sering kali tidak disadari, namun diam-diam bisa berdampak besar dalam kehidupan sehari-hari jika tidak dikenali dan dikelola: kelelahan emosional.Â
Banyak orang mengira kelelahan hanya soal fisik, karena terlalu banyak bekerja, kurang tidur, atau padatnya aktivitas. Tapi kenyataannya, ada bentuk kelelahan yang jauh lebih sunyi dan sulit dijelaskan: kelelahan yang datang dari dalam. Ia tak selalu terlihat, tapi efeknya nyata. Ia tidak memar atau berdarah, tapi bisa membuat seseorang kehilangan arah.
Kondisi ini sering muncul tanpa aba-aba. Kita tetap beraktivitas seperti biasa, tersenyum kepada orang lain, bahkan bercanda di media sosial. Tapi ketika sendiri, rasa hampa menyeruak.Â
Pekerjaan yang dulu menyenangkan kini terasa menekan. Hal-hal yang biasanya bisa diselesaikan dalam satu jam, kini memakan waktu seharian. Bukan karena kita tak bisa melainkan karena kita sedang letih secara emosional. Dalam praktik psikologi, ini adalah tanda-tanda awal dari burnout atau kelelahan psikologis.Â
Lebih dari sekadar stres, burnout adalah kondisi ketika kita sudah terlalu lama mengabaikan kebutuhan emosional kita sendiri. Kita terus memberi, terus berlari, tanpa menyadari bahwa bahan bakar kita sudah habis sejak kemarin. Menurut Christina Maslach, burnout terdiri dari tiga aspek utama: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi.Â
Artinya, seseorang bisa merasa begitu lelah secara mental, merasa terlepas dari koneksi sosial atau pekerjaan, dan merasa tidak cukup mampu meskipun sebenarnya sudah berusaha sekuat tenaga. Ini bisa dialami oleh siapa saja, seperti, karyawan, ibu rumah tangga, pelajar, bahkan seorang profesional kesehatan mental sekalipun.
Saya pun pernah menemani seseorang yang mengalami kondisi ini. Seorang wanita muda yang pada awalnya datang hanya dengan keluhan "nggak semangat kerja." Tapi ternyata, di balik itu, ada duka yang belum selesai, ada rasa bersalah yang ia pendam sendiri, ada tekanan dari ekspektasi yang selama ini ia telan mentah-mentah demi terlihat "kuat."Â
Kuncinya bukan menyuruhnya untuk "lebih semangat" atau "lebih produktif." Justru langkah awal pemulihannya terjadi ketika ia mulai berani jujur bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Ketika ia mulai menangis dan berkata, "Saya capek." Bukan hanya capek bekerja, tapi capek berpura-pura baik-baik saja.
Proses penyembuhan bukan tentang memaksakan energi yang tidak ada, tapi tentang mengizinkan diri untuk berhenti, bernapas, dan merasa. Karena tidak semua hal harus dihadapi dengan solusi segera. Kadang, yang kita butuhkan hanya ruang untuk merasa sedih tanpa dihakimi, waktu untuk berdamai dengan luka, dan keberanian untuk menerima bahwa menjadi lelah bukan berarti kita gagal.
Kita hidup di era yang sangat menghargai produktivitas. Kita berlomba-lomba untuk tampil kuat, stabil, dan sibuk. Padahal, kelelahan emosional bukan sesuatu yang bisa disembuhkan dengan kopi ekstra atau kalimat motivasi yang dibaca sepintas. Kita butuh empati terutama dari diri kita sendiri.