Mohon tunggu...
Silva Ahmad F
Silva Ahmad F Mohon Tunggu... Guru - Penulis Pemula

Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-Kata (WS Rendra. Depok, 22 April 1984)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Deretan Pilu di Balik Bilik Suara

1 Mei 2019   11:40 Diperbarui: 1 Mei 2019   14:20 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu jenazah petugas KPPS (Sumber: suara.com)

Alvi Nurrahma namanya, seorang gadis berusia 13 tahun yang harus menelan pil pahit pemilu serentak 17 April kemarin. 40 hari setelah kematian ayahnya, ia harus kehilangan ibunya, Supin, yang merupakan salah satu petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) desa Pilangrejo, kecamatan Wungu, kabupaten Madiun.

Lain cerita dengan Nita, Seorang petugas KPPS di desa Kalikobok, Sragen, Jawa Tengah. Saat itu ia sedang mengandung anak ketiganya. Ia divonis keguguran akibat kelelahan setelah bertugas dalam pemungutan suara pada Rabu kemarin. Nita sempat mengalami pendarahan dan dirawat dua hari di rumah sakit, namun janin dalam kandungannya tidak terselamatkan.

Ada lagi kisah Sudarmaji, petugas di desa Pogar, kecamatan Bangil. Ia merasa sakit sesaat setelah menjadi petugas pemungutan suara. Karena tak memiliki biaya untuk ke rumah sakit, ia memilih untuk dirawat di rumahnya sendiri. Karena tidak ada penanganan medis yang semestinya, tiga hari kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Tiga kisah di atas hanya segelintir dari ratusan tragedi lain di antara rentetan daftar panjang panitia Pemilu yang kehilangan nyawa saat dan setelah bertugas. Data terbaru Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Senin (29/4/2019) menunjukan sebanyak 296 petugas KPPS dari beberapa daerah yang meninggal dunia. Belum lagi sekitar 1450 petugas yang terhitung sakit.

Yang terlihat oleh publik, barangkali sederhana. Hanya pencoblosan yang berlangsung pagi jam 06.00 hingga 13.00. Tapi yang dialami oleh petugas KPPS tidak sesederhana itu. Ada harga mahal yang benar-benar harus mereka pertaruhkan di balik bilik suara.

Secara teknis, sejak H-3 formulir C6 harus sudah didistribusikan pada para pemilih. Petugas harus menyiapkan segala sesuatunya menjelang pencoblosan, bahkan ada yang sampai rela menginap beberapa hari di TPS.

Pencoblosan secara formal memang selesai jam 13.00, tapi itu justru awal dari sebuah kerumitan. Penghitungan suara dimulai dari tingkat PPWP (Presiden dan Wakil Presiden) hingga DPD. Barangkali PPWP lipatannya masih sedikit, tapi DPR dan DPRD provinsi tiap lembarnya bisa sampai 5-6 kali lipatan.

Penghitungan di TPS biasanya selesai malam hari, di daerah saya, penghitungan baru selesai sekitar pukul 23.00. Namun tak berhenti di situ, petugas harus menyiapkan berkas adminstrasi formulir dikali 4 hasil pemungutan dikali jumlah saksi dan dikali pelaporan sampai tingkat kecamatan.

Setelah selesai urusan administrasi, para petugas harus menyetorkan data tersebut bersama kotak suara yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab dan dikawal oleh pihak kepolisian ke PPK. Di sana mereka masih harus menghadapi antrian mengular para petugas dari daerah dengan tujuan sama.

Kita bayangkan saja, hampir 24 jam non-stop para petugas KPPS bekerja. Ditambah lagi mereka masih harus bersih-bersih TPS, membereskan yang tersisa dari pemungutan suara. Jumlah mereka sebagai panitiapun tak banyak. Sehingga dengan upah minimum dan kerja maksimum seperti ini, rasanya kurang sepadan. Bahkan penuh dengan banyak resiko.

Belum lagi serentetan kasus persekusi dan bullying pada para petugas dari pendukung fanatis. Adanya polarisasi pemilih yang mendalam disertai tuduhan kecurangan dari para elit, hingga upaya menyuarakan pemilihan ulang justru telah menyumbangkan depresi pada para petugas. Tak heran jika kemudian banyak yang tumbang. Dis amping harus menanggung beban fisik, mereka juga harus menanggung beban psikologi.

Mereka bekerja secara ikhlas dan berusaha dengan penuh tanggung jawab untuk negara. Human error yang terjadi secara alami saja sangat besar pertanggungjawabannya. 

Jadi mari hargai para petugas KPPS yang bekerja penuh siang malam demi negara. Kedepannya, semoga ada evaluasi besar-besaran pada pemilu selanjutnya, agar deretan pilu yang sudah terjadi tahun ini tidak terulang lagi. Wallahu a'lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun