Mohon tunggu...
Wisnu Adhitama
Wisnu Adhitama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jalani hidup hari ini dan rencanakan besok dan kedepan untuk berbuat sesuatu

Writer on sihitamspeak.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sertifikasi Halal: Perlukah?

18 Juli 2019   14:35 Diperbarui: 18 Juli 2019   14:45 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Lima tahun belakangan ini banyak sekali produsen yang melabeli halal pada produk mereka. Bahkan yang sempat membuat heboh adalah sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) untuk produk baju terutama hijab. Ini bertolak belakang dengan anggapan sewaktu saya kecil dulu bahwa yang harus berlabelkan halal cukup terfokus pada makanan dan minuman. Karena dulu memang kesadaran untuk menggunakan produk halal tidak seramai sekarang.

Masyarakat pun kini terpecah dengan dua pandangan yakni yang mementingkan label dari sertifikat halal pada suatu produk dan yang cuek dengan ada atau tidaknya label halal pada suatu produk. Namun boleh diakui kalau label halal cukup ampuh untuk menarik minat pembeli masyarakat. Tidak usah repot mencari laporan penjualan produk berlabel halal dan tidak, dilihat semakin menjamurnya produk berlabel halal cukup untuk menggambarkannya. Logika sempitnya, untuk apa produsen melabeli halal jika mayoritas konsumen cuek dengan ada atau tidaknya label itu.

Jika membuka sejarah tentang sertifikasi halal di Indonesia, khususnya yang di keluarkan oleh MUI bermula pada tahun 1988 setelah merebaknya kasus yang cukup meresahkan masyarakat tentang kandungan lemak babi. Berdasarkan situs resmi dari LPPOM MUI (halalmui.org), lembaga ini berdiri pada 6 Januari 1989 sebagai solusi untuk meredakan kasus tadi. 

Sebenarnya Indonesia sendiri sudah memiliki paying hukum tentang kandungan babi pada makanan yakni Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.280/Men.Kes/Per/XI/1976 tertanggal 10 November 1976 tentang ketentuan peredaran dan penandaan pada makanan yang mengandung bahan berasal dari babi.

Hanya saja itu bukan berbentuk sertifikat/lebel halal seperti sekarang ini. Dulunya makanan yang mengandung babi hanya di beri tulisan "mengandung babi" dengan gambar babi warna merah dan dasar putih. Waktu itu pelabelan halal boleh dilakukan namun sebatas moralitas saja, tidak ada hukum yang mengatur. Jika pelabelan halal itu disalahgunakan (ada kandungan yang diharamkan) hukumannya hanya penipuan konsumen saja.

Payung hukum terhadap label halal baru di keluarkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No.427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan "Halal" pada Label Makanan. Syaratnya ialah produsen makanan dan minuman melaporkan terlebih dahulu komposisi bahan dan proses pengolahan kepada Departemen Kesehatan. Untuk peran MUI sendiri berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 dan No.519 Tahun 2001, LPPOM MUI adalah lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.

Kepentingan Halal di Indonesia
Halal di Indonesia seperti sebuah jaminan bahwa poduk yang akan di pakai/di konsumsi itu aman baik secara kesehatan maupun agama. Seperti yang diketahui bersama jika mayoritas masyarakat Indonesia itu beragama Islam. Di dalam ajaran Agama Islam, semua hal yang akan kita konsumsi, pakai, sentuh, bahkan melihatnya harus halal. Jadi penting kiranya ada jaminan kehalalan dari sebuah produk yang beredar di masyarakat.

Namun sayangnya banyak narasi sumbang terhadap produk-produk yang belum mendaftarkan produknya untuk mendapat sertifikasi halal. Muncul keraguan itu lumrah, namun jika keraguan itu menjadi sesuatu yang melabeli sebuah produk yang belum tahu kehalalannya menjadi produk tidak halal itu amat memprihatinkan. Sebenarnya ada banyak alasan produsen tidak mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan dan LPPOM MUI. Alasan yang paling sering saya temui adalah kurangnya informasi cara mendaftar karena perlu di akui budaya sosialisasi dan penyebaran informasi di Indonesia ini masih kurang.

Seorang teman dulu pernah cerita kepada saya tentang produk makanannya yang sebenarnya menggunakan bahan dan pengolahan halal namun dia enggan untuk mendaftarkan produknya. Dia mengungkapkan jika sertifikat halal pada suatu produk itu kurang memiliki nilai universalitas. Masih banyak yang menganggap bahwa halal itu hanya ditujukan untuk kaum tertentu saja (Ummat Muslim) yang mayoritas di Indonesia sehingga ada beberapa orang yang enggan membeli produk itu.

Pemberian label halal sebenarnya masuk ke dalam strategi pemasaran dari sebuah produk agar lebih memiliki kepercayaan di masyarakat. Tiap-tiap produsen tentu memiliki target konsumennya sendiri-sendiri. Melihat mayoritas orang Indonesia beragama Islam, tak heran rasanya jika banyak konsumen yang berlomba-lomba memiliki sertifikat halal pada produknya. Meski yang saya temui di lapangan amat jarang konsumen (terutama anak muda) yang saya lihat mengecek ada atau tidaknya produk halal pada kemasan makanan atau minuman atau produk lain.

Pada akhirnya semua kembali kepada konsumen yang di beri kebebasan untuk menentukan pilihannya. Produsen-produsen pun banyak memberi pilhan produk halal dan non-halal. Sertifikat halal pada semua produk menjadi penting jika anda menganggapnya penting. Namun, anda yang tidak peduli dengan ada atau tidaknya label halal pada semua produk pun itu pilhan anda. Jangan sampai, label halal dijadikan dalil untuk menghambat usaha dari orang lain. (AWI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun