Bayangkan seorang nenek petani berusia 55 tahun harus berhadapan dengan meja hijau hanya karena mengambil tiga biji kakao. Kejadian ini benar-benar terjadi di Indonesia dan menjadi sorotan karena menggambarkan bagaimana hukum bisa ditegakkan dengan kaku, tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Â
Kasus Nenek Minah menjadi contoh nyata benturan antara kepastian hukum dan keadilan sosial. Dari perspektif filsafat hukum positivisme, keputusan yang dijatuhkan dalam kasus ini memang sesuai aturan. Namun, apakah hukum seharusnya hanya tentang aturan tanpa melihat konteks sosial Â
Kronologi Kasus: Hanya Tiga Biji Kakao, tapi Harus Dipidana Â
Nenek Minah adalah seorang petani yang tinggal di Banyumas, Jawa Tengah. Saat sedang memanen kedelai di lahan garapannya sendiri, ia mengambil tiga biji kakao milik PT Rumpun Sari Antan (RSA). Â
Mandor perkebunan melihat kejadian itu, dan Nenek Minah segera mengembalikan biji kakao tersebut serta meminta maaf. Namun, meskipun tidak ada niat mencuri dalam arti yang sebenarnya, pihak perusahaan tetap melaporkannya ke polisi. Â
Kasus ini akhirnya dibawa ke pengadilan, dan Nenek Minah didakwa melakukan pencurian berdasarkan Pasal 362 KUHP. Hasilnya Ia divonis bersalah dan dijatuhi hukuman satu bulan lima belas hari dengan masa percobaan tiga bulan. Â
Pertanyaannya, apakah ini benar-benar mencerminkan keadilan?Â
Filsafat Hukum Positivisme: Menegakkan Aturan Tanpa Kompromi Â
Dalam filsafat hukum, ada pendekatan yang disebut positivisme hukum. Tokoh-tokoh seperti John Austin, Jeremy Bentham, dan H.L.A. Hart berpendapat bahwa hukum harus dijalankan sebagaimana tertulis dalam peraturan, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau sosial. Â
Dalam sistem hukum Indonesia, positivisme tercermin dalam asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Â
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Â