Mohon tunggu...
Sigit Pamungkas
Sigit Pamungkas Mohon Tunggu... swasta -

Tergabung dalam buku Antologi puisi 1. akar hati semesta 2. menatap semesta cinta 3. pesanggrahan hati 4. menatap semesta asa 5. bianglala

Selanjutnya

Tutup

Puisi

~ Sajak-sajak Pendek tentang Musim, Hujan, dan Kenangan

12 Desember 2012   09:05 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 3346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Maka kuyakini engkau sebagai takdir; tempat segala desir mengalir-- hingga pemberhentian terakhir

****

Karena bagi musim air matamu adalah larik kesedihan, maka ijinkan aku menjadi setitik hangat bagi lebam lukaluka mu

*****

karena engkaulah ombak bagi perahu sunyiku, menuntun kembara ini; menuju palung hatimu

****

halimun moksa di bukit rimba meninggalkan jejak embun, dan sebait kidung lirih tertinggal di basah daundaun

****

dan tenang malamku berhias debur rindu, serupa ombak yang meriak di kedalaman matamu

*****

Dalam hening telaga pagi adalah altar suci, tempat doadoa menjelmakan diri; merupa puisi

****

Adalah pagi yang membisikkan embus doa pada geletar daun angsanaмaka kucinta engkau dengan seluruh asa--tanpa sisa

*****

Adalah kau, sebuah pagi dengan hening paling sunyi; tempat aku meletakkan segenap nyeri

****

Aku menemukan kilau senja di matamu yang surga; merupa jingga juga merah saga--bertabur wangi cinta

****

Di sela daun bambu kuning tua senja lesap di hening telaga; bersama kilau jingga mendesirkan baitbait kidung purba

****

Senja dan matahari tua, bersama-sama melahirkan kilau jingga; tempat aku menitip puisi cinta

****

aku menjumpai pagi berhujan, tarian kabut lindap di sela lerai daundaun pinus basah, berguguran serupa tangis bidadari pemungut mimpi

****

Dan juntai embun di pucuk daun kastuba adalah senyummu, berlabur doa; tabah merenda asa

*****

Pagi adalah pekik hening kerinduan yang mendaras cahaya bagi terang doadoa

****

Pagi adalah keanggunan gununggunung mencumbui pepucuk ilalang, mendesirkan beribu harapan

*****

Sebuah pagi, harum aroma bunga pohonpohon kopi, seputih doa kasih yang dilansir bumi untuk kita nikmati

****

Aroma pagi adalah wangi yang menguar dari basah tanah; sekelumit doa tentang syukur yang demikian megah

****

Adalah kau, lengking angin yang menyuarakan denting, tempat aku merumahkan segala ingin

****

Lalu kesiur angin barat mengabarkan kelabu yang kian menggurat, serupa kesedihan yang begitu berat

****

Sesaat sebelum angin lelap aku ingin menitipkan larik-larik doa dalam parade sunyi yang mengiring kepergian angin musim semi

****

kita selalu #menunggu, hujan datang di sepi beranda, meluruhkan debudebu luka

****

kamukah itu, kekasihku, perempuan yang termangu menunggu senja luruh di pangkuan waktu

****

kita menyimak setiap rinai hujan sebagai serenada kenangan, melangitkan khayalan tentang kerinduan masamasa silam

****

maka di sinilah kita, di sudut kota, menyesap hujan yang meriuh di lembah-lembah kenangan; melarungkan segenap perih luka

****

Pagi berselimut kabut dan bulir-bulir embun yang bersemayam di pepucuk daun; seperti itulah Tuhan menyayangimu dengan santun

****

Di bawah langit pagi kotamu aku menyusur sepi perjalanan; mencoba melepas peluk kenangan

****

Di pagi yang berbeda kita selalu mengulang hal yang sama; berbagi secangkir kenangan pada meja perjamuan

****

Pagi juga tentang hening abadi, hikmat doadoa yang menjejak langit hati, tentang syukur yang melabur nikmat illahi

****

Pagi bukan hanya tentang riuh beburung di tangkaitangkai padi; tetapi juga selarik puisi

****

Di penghujung senja angin menitipkan kenangan, kelak, musim akan menjadikannya sebagai hujan; pengobat lukaluka yang merajam

****

Senja lesap di sepanjang laguna, dan aku terbatabata mengeja lariklarik luka di sela hujan yang bercengkrama

****

Riak-riak sepi mulai menepi, menyesap hangat yang lahir dari mata pagi, dan semestaku berlabur puisi

****

Adalah kau, bulir-bulir embun yang berdiam di kuntum bougenvil merah, mewarnai pagi dengan senyum paling rekah

****

Dan jika musim melagukan sepi aku kan tetap di sini, menyesap segala bunyi, menerjemahkannya menjadi doadoa suci

****

Maka aku merajah pagi dengan doadoa abadi, lantun sepi yang lahir dari tingkap hati; merupa puisi

****

sepertinya, musim tak berpihak padaku, mencederai rindu yang kusemai pada ladangladang setiaku

****

dan kita saling mengurai hangat pelukan, merayakan perpisahan tanpa tangisan, hanya percaya; malam menjaga kesetiaan

****

bila gigil sunyi memelukmu; rekatkan namaku dengan doamu, akan kujaga kau dengan segala mampuku

****

pada angin, aku menitip sebait puisi malam, semoga kau masih terjaga di sana-- merenda rasa

****

rembulan luruh di reranting mahoni tua; sunyi yang mengangkasa melanggamkan baitbait keajaiban puisi cinta—kita

****

dan sesuatu yang ajaib selalu aku temukan, di lenganmu, malam selalu memberi hangat pelukan

****

keajaiban cinta, selalu saja mendatangkan tanya; perlukah kita meluka?

****

maka aku biarkan sunyi berkelindan di langitlangit ingatan bersama hujan, mencipta baitbait puisi yang aku namakan; kenangan

****

dan angin yang membawa basah di sela ranting angsana melanggamkan nyanyian luka, menjerat kenangan bersama sepi yang berdiam di sudut angan

****

dan, apakah yang layak dikenang dalam butirbutir hujan itu, kekasihku, selain sisa nafasmu sebelum sepi menenggelamkanku

****

hujan menggumamkan sendu, dan sepi seperti tikaman lukaluka biru; menyisakan ngilu

****

Malam lesap dalam hening sempurna; mengabarkan nyanyian sunyi yang lahir dari rahim sang purnama

****

Di antara dedaun pinus basah, senja terasa demikian getas, mengalirkan rindu di sela gerimis yang membias

****

Dalam kelabu senja, kutemukan sepotong cerita--kenangan lalu yang aku namakan: luka

****

butir embun di tepi pagi; dan akan kunikmati sebagai nyanyian paling sunyi

****

begitu riuhnya hujan mendera di beranda, menempiaskan namamu di antara kubangan lukaluka

****

Maka, biarkan senja berlalu. Dan biarlah malam menguntai sebongkah rasa terpendam, sebuah kerinduan yang esok kan kita jelang

****

Tak usah risau dengan sebuah perpisahan. Bukankah pertemuan akan menjadi lebih indah, ketika kita bisa menghikmati sebuah penantian?

****

Senja telah habis, kekasihku, cukup sampai di sini kita melabuhkan bahtera kenangan, dan esok kita lanjutkan lagi perjalanan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun