Mohon tunggu...
Sigit Nugroho
Sigit Nugroho Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah

Berlatar belakang bahasa Inggris, berminat sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik, Pulang Kampung, dan Diskursus Publik Presiden

2 Mei 2020   00:07 Diperbarui: 2 Mei 2020   22:18 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika kita melihat budaya orang Indonesia, memang ada perbedaan tipis antara mudik dan pulang kampung. Seperti yang dimaksud presiden, ada perbedaan dalam hal waktu pelaksanaan.

Jika wujud perbuatan yang dari kedua kata tersebut sama yaitu sama-sama melakukan perbuatan pulang ke kampung halaman, maka bedanya, secara budaya, istilah mudik biasanya santer disebut-sebut dan digunakan pada saat menjelang Lebaran (Idul Fitri), sedangkan istilah pulang kampung lebih luas dan umum konteksnya. Istilah ini bisa digunakan di berbagai situasi dan kondisi.

Akan tetapi, dalam pemakaian sehari-hari, sebenarnya sah-sah saja kita menggunakan salah satu dari kedua istilah tersebut terlepas dari waktu perbuatannya. Seorang kawan penulis dari Kalimantan biasa menggunakan kata "mudik" ketika ia hendak pulang ke Kalimantan pada liburan semester saat kuliah dulu. Dan penulis sangat paham bahwa mudik yang ia maksud sama dengan pulang kampung, meski tidak terjadi di beberapa waktu jelang Idul Fitri seperti lazimnya.

Artinya, secara penggunaan dalam konteks sehari-hari, kedua istilah tersebut sifatnya interchangeable, manasuka. Maka, tidak ada yang keliru ketika kita menggunakan kata pulang kampung dalam konteks lebaran dan menggunakan kata mudik dalam situasi di luar lebaran, atau sebaliknya. Terlebih, bahasa memiliki sifat arbitrer (arbitrary) alias manasuka dan merupakan sebuah kesepakatan makna (convention) antara penutur dan mitra tutur.

Secara otomatis, nyaris tidak ada perbedaan yang berdampak cukup signifikan ketika kita menukar penggunaan istilah tersebut. Hanya saja, jika kita merujuk pada konteks budaya, maka istilah mudik lebih sering digunakan saat mendekati lebaran, sedangkan istilah pulang kampung lebih leluasa untuk dipakai di berbagai situasi. Namun, sekali lagi, jika ditukar dalam penggunaannya, tidak ada dampak yang cukup 'fatal' selagi penutur dan mitra tutur saling memahami.

 

Dampak Ucapan Presiden dalam Diskursus Publik

Dampak yang fatal justru terjadi ketika presiden -- dalam tanda kutip -- "mempertajam" perbedaan yang tidak seharusnya ini dengan mengatakan dengan bahasa yang sangat lugas dan terkesan terlalu tergesa-gesa (melihat posisi beliau sebagai presiden, bukan warga negara biasa seperti saya) mengatakan, "Itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung."

Kontan saja, Najwa menanyakan balik, apa bedanya Bapak Presiden, antara pulang kampung dengan mudik? Pertanyaan ini sangat wajar muncul, karena barangkali bukan itu jawaban yang diharapkan dari presiden ketika Nana menanyakan tentang sikap pemerintah terhadap 900 ribu orang yang mencuri start untuk mudik, sebagaimana laporan dari Kementerian Perhubungan.

Apakah jawaban presiden tersebut salah? Bagi saya, sah-sah saja seseorang menuturkan apa pun selagi informasi tersebut valid, berterima, dan dapat dipertanggungjawabkan. Masalahnya adalah, jawaban tersebut tidak sedang berdiri sendiri di sebuah ruang kosong, atau setidaknya muncul di tempat dengan suasana yang lebih sesuai seperti di warung kopi dalam suasana obrolan santai antara Badri dan Sidrun. Atau antara Yanto, Beni, dan teman-teman lama mereka di warung makan sederhana yang sedang chit-chat, ngobrol ke sana ke mari.

Maka, secara panjang lebar saya tuliskan di sini inti permasalahannya: jawaban tersebut diucapkan dalam situasi formal dengan lokasi istana negara dengan kapasitas beliau sebagai presiden (orang nomor satu di negeri ini) yang sedang menghadapi wawancara dalam sebuah acara di televisi yang disaksikan jutaan pasang mata masyarakat Indonesia dengan latar belakang yang berbineka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun