Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger ajah

blogger @ sigitbud.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Retorika Boleh, Program Jangan Ditinggalkan

15 Oktober 2018   11:50 Diperbarui: 15 Oktober 2018   12:40 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi sebagian orang mungkin akan menertawakan komentar Sandi dan Prabowo, seperti  pernyataan ekonomi kebodohan, tempe setebal kartu kredit, makan nasi ayam di Singapura lebih murah, dll.

Saya mencoba mencermati pernyataan - pernyataan tersebut di atas yang beredar luas di media sosial dan media online.  Sebenarnya pernyataan - pernyataan itu sebuah penyederhanaan (simplifikasi) realitas yang dikemas lewat sebuah pesan (message) kampanye.

Metode komunikasi seperti ini jamak dilakukan oleh oposisi untuk mengkritik petahana dengan memainkan sentimen kebutuhan hidup dasar (basic needs) masyarakat untuk menggalang simpati dan dukungan untuk gerakan.

Biasanya sentimen yang dimainkan adalah perasaan cemas karena tak bisa membeli bahan pangan,  kehilangan pendapatan karena menganggur. Tak heran bila isu soal beras, serbuan TKA Cina, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan BBM selalu menjadi "gorengan" politik yang renyah untuk dikunyah.

Pada tahun 1966 muncul jargon Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) isi tuntutan berkait dengan kebutuhan pokok adalah "Turunkan Harga". Pada tahun 1998 juga mengemuka  Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) sebagai tuntutan  pemersatu gerakan penentang rezim Orde Baru. 

Narasi yang dibangun saat itu rezim Orba memperkaya diri sendiri dan kroninya sehingga rakyat sengsara tedampak krisis moneter global, akibatnya pengangguran  dan harga kebutuhan pokok naik.

Topik tentang lapangan kerja, harga sembilan bahan kebutuhan pokok, energi, kemiskinan menjadi tema aktual dalam setiap kontestasi politik. Selain itu, sentimen keagamaan juga menjadi bahan bakar politik yang efektif untuk menarik dukungan massa pemilih.

Pada satu sisi  metode ini terlihat sebagai pembodohan atau penyesatan nalar (logical fallacy) , namun faktanya pesan - pesan seperti itu yang paling mudah dicerna nalar dibandingkan angka - angka statistik. Faktanya, daya serap akar rumput tidak secanggih yang kita bayangkan.

Pilihan "frasa" kampanye politik menjadi penting dalam memenangkan dukungan politik. Mengingat heterogenitas publik secara vertikal dan horizontal, komunikator oposisi akan memilih pesan yang bisa diserap nalar semua kelas sosial dengan substansi kontra kebijakan petahana.  Narasi-narasi  itu terwakili dalam  pesan - pesan  kampanye oposisi seperti : harga BBM mahal, Beras mahal, Listrik mahal, Tarif Tol Mahal.

Untuk menghadang serbuan narasi - narasi kontra dari oposisi, petahana seyogyanya merumuskan pernyataan - peryataan yang singkat, rasional dan membangkitkan sentimen positif dalam setiap tatap muka dengan publik atau media.

Rezim Joko Widodo dengan masa kerja sampai hari ini memang belum sempurna, namun pondasi - pondasi ekonomi sudah mulai dibangun untuk kemajuan Indonesia. Sangat disayangkan bila Indonesia diperintah oleh rezim yang pandai beretorika tapi hasil nihil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun