Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger ajah

blogger @ sigitbud.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Munculnya Capres Pelanggar HAM dan Caleg Eks-Koruptor Kesalahan Kita

20 September 2018   15:50 Diperbarui: 20 September 2018   17:04 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Riuhnya situasi politik menjelang Pilpres dan Pileg 2019 membuat publik kehilangan kontrol atas logika. Saya tak tahu, kenapa di Indonesia bisa ada capres dengan jejak masa lalu kelam dan mantan koruptor di DCT KPU , dan mereka makin eksis di panggung politik nasional dan lokal.

Mau tidak mau, inilah konsekuensi sebuah negara bersistim demokrasi, dimana sistim hukum dan politik melandaskan pada Hak Asasi Manusia (HAM). Sebenarnya sebuah "pil pahit" bagi bangsa ini yang ingin lepas landas dari keterpurukan di masa lalu. 

Lepas dari sistim bernegara, saya berpikir, apakah bangsa ini sangat permisif, mudah lupa, atau memang kita bodoh? Bagaimana pun baiknya sebuah sistim tak akan berjalan dengan baik bila operatornya bermental jelek.

Saya yakin label "bodoh" bukan karakter bangsa kita, label "permisif" dan "mudah lupa" lebih tepat. Membiarkan sosok - sosok dengan label "pelanggar HAM" dan "Eks-Koruptor" menguasai ranah pembuat kebijakan publik  sungguh sebuah ironi. Pada satu sisi bangsa ini mengedepankan moralitas agama, sisi memberikan ruang bagi pengkhianat masyarakat. 

Sebagai analogi, bila di lingkungan RT atau RW ada pemilihan ketua RT/RW dan calonnya adalah mantan pencuri dan pembunuh, apakah anda akan memilihnya? Dalam lingkup luas yaitu negara moralitas yang dikedepankan seharusnya sama.

Faktanya tak demikian, ada variabel lain yang membuat para tercela di hadapan hukum itu naik ke panggung politik dan mempengaruhi opini publik. Dalam tataran ini variabel kepentingan yang dimotori oleh uang lebih dominan. Tentu kita masih ingat istilah "Jenderal Kardus" yang muncul ketika proses penentuan Capres dan Cawapres. 

Fakta ini didahului oleh sebuah video pidato Ketum Gerindra yang menyatakan hanya memberikan dukungan kepada calon berduit. Asal ada duit tanpa melihat prestasinya akan didukung di Pilkada atau Pilpres.

Terbukti, kemudian muncul isu kompensasi uang kepada dua partai pendukung agar melolos Capres dan Cawapres. Kini ada mantan koruptor "ngotot" ingin menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, apa kita sebagai warga negara membiarkan mereka menguasai posisi strategis negeri ini? 

Padahal untuk menjadi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja, setiap calon diharuskan memiliki Surat Keterangan Catatan Keterangan Polisi (SKCK), lebih gampang menjadi anggota DPR dibandingkan anggota Legislatif dan Eksekutif.

Sebagai masyarakat religius, berketuhanan seperti amanat Pancasila, kita harus memberikan ruang maaf kepada pelaku kejahatan apapun. Namun bukan berarti kita melupakan dan menghapusnya dari ingatan, ini sama halnya dengan kebodohan.

Seharusnya kita belajar dari pepatah "Hanya Keledai yang jatuh di lubang yang sama", padahal kita manusia, tentu lebih dari Keledai.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun