Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger ajah

blogger @ sigitbud.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Pribumi" Rasis Dalam Konteks Pilgub DKI Jakarta 2017?

17 Oktober 2017   15:09 Diperbarui: 17 Oktober 2017   16:40 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seruan stop kampanye dengan materi SARA di Pilkada DKI Jakarta 2017

Memahami Kata "Pribumi" Secara Dalam Konteks Peristiwa Politik  Pilkada

Banyak pendapat di media sosial soal teks "pribumi" dalam pidato Anies, sebagian mengatakan Anies rasis sebagian lagi mengatakan sebaliknya, Anies tidak rasis. Saya berusaha memahami teks "pribumi" dalam konteks peristiwa politik Pilkada DKI Jakarta lalu dan kilas balik sejarah istilah "pribumi" dalam konteks politik & sosial masa lalu.

Generasi "jaman now" mungkin tidak merasakan stigma ini. Ada dua stigma penting di era Orde Baru, pertama stigma Komunis, kedua non - pri. Stigma kedua ini masih berkait dengan stigma pertama, tentu sudah banyak yang belajar peristiwa politik 1965. Kebijakan politik ini berdampak secara sosial. Disadari ada atau tidak, terjadi  pemisahan secara alami antara pri dan non - pri dalam kehidupan sehari. Ada kecurigaan antar kelompok sosial secara massif.

Bagi kelahiran 70-an pernah mendengar peristiwa penting di Kota Solo, kerusuhan sosial  karena soal sepele yang menyulut kerusuhan massal satu kota. Saat itu saya belum genap 12 tahun, tiap hari melihat gerakan membakar asset non - pri. Saat itu saya tidak paham apa yang terjadi, sebagai anak kecil senang saja nonton orang ramai - ramai bakar sana - sini.

Setelah bekerja di Jakarta saya melihat kembali kerusuhan massal seperti saat saya masih SD.  Isu yang dihembuskan untuk  membakar  kemarahan massa setipe dengan peristiwa di Solo. Narasinya non - pri menguasai ekonomi kita dan mari kita rebut dengan berbagai cara , termasuk kekerasan sah - sah saja.

Hal ini  juga terjadi di Solo di tahun 1980 -an. Tapi peristiwa 1998 lebih komplek pemicunya, sedangkan di Solo hanya karena perselisihan anak - muda. Sebenarnya peristiwa Solo tidak akan terjadi bila pemerintah saat itu tidak menabur bibit intoleran dan rasis secara politik.

Reformasi membuka cakrawala baru, Presiden Habibie lewat peraturan menghapus stigma non - pri dan dikotomi pri dan non - pri. Aturan ini semata - mata untuk merekatkan kembali disintegrasi sosial paska reformasi 1998. Presiden Gus Dur dengan cerdas dan arif menghancurkan tembok dikotomi pribumi dan non - pri lewat kebudayaan.

Kata "pribumi" sesungguhnya netral, tapi menjadi tidak netral lagi ketika menjadi "label politik" yang dibumbui stigma untuk kepentingan menyudutkan kelompok lain. Meski mereka fakta hukum  masih sebangsa. Sebagai label politik untuk membedakan siapa "aku" dan "kamu".

Sederhananya  begini, ketika Bung Karno menggunakan kata "pribumi" orang tidak akan berpikir Bapak Proklamator itu anti - Cina, rakyat Indonesia bisa mengerti maksud Bung Karno kata pribumi sebagai negasi terhadap penjajah.

Hampir semua orang Indonesia tahu perjuangan Soekarno dan tokoh pergerakan lain dalam mengusir penjajah. Sama halnya Joko Widodo menggunakan kata pribumi ketika meninjau salah satu proyek di Banten. Presiden mengharapkan masyarakat sekitar proyek atau peenduduk pribumi bisa bekerja juga di proyek itu.

Kenapa tidak ada yang mencurigai Soekarno dan Joko Widodo sebagai pendukung rasisme ? Sekarang kenapa sebagian orang gusar dengan kata "pribumi" yang dipakai Anies?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun