Ya, sangat berpotensi dan rawan melanggar Hukum, karena cacat prosedural, yaitu berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang secara jelas dan terang menyatakan, bahwa salah satu asas penyusunan undang-undang adalah keterbukaan.
Semestinya, sejak proses penyusunan, naskah akademik dan draf rancangan undang-undang terbaru selalu dibagikan ke publik, karena jika tidak dibagikan kepada publik, maka akan berakibat pada hilangnya hak partisipasi masyarakat.
Hal ini akan berkonsekuensi kepada ranah hukum sehingga berpotensi, bahwa UU Omnibus Law dapat terjegal saat diajukan ke Mahkamah Konstitusi melalui langkah judicial review, bahkan cacat prosedural tersebut, Â dapat juga diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai tindakan "malaadministrasi".
Karena kalau dari prosedural administrasi, bila keadminiatrasian tidak menaati prosedur yang berlaku, maka produk yang dihasilkan tersebut adalah produk cacat atau dianggap tidak pernah ada atau konsekuensinya adalah batal demi hukum.
Jadi, tak ada alasan selain murka, turun ke jalan, demonstrasi dan aksi massal terhadap situasi yang terjadi terkait Omnibus Law ini. Sebab, "bagaimana mungkin sebuah lembaga tinggi negara bisa main-main mengesahkan sesuatu yang akan mempunyai efek luas bagi seluruh rakyat tanpa keterbukaan dan transparasi kepada ruang publik seluas-luasnya.
Seperti yang juga dijelaskan oleh peneliti Kontras, Rivanlee, bahwa (Kontras) sampai mengirim surat permohonan kepada Kementerian Koordinator Perekonomian, Sekretariat Negara, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM, serta Kementerian Hukum dan HAM, tentang draft RUU Omnibus Law tapi hasilnya adalah Nihil dan mengecewakan.
Kemenkopolhukam bahkan menyatakan prosesnya memang bersifat rahasia, lalu Kemenkumham hanya membalas normatif perihal keterlibatan mereka, Sekneg tidak membalas, sementara Kemenko Perekonomian baru membalas setelah draf di unggah di halaman website resmi mereka.
(Peneliti Kontras, Rivanlee)
Nah, pada awalnya saja RUU Omnibus Law, sifatnya sudah rahasia seperti ada udang dibalik bangsat eh dibalik batu, setelah didorong oleh Kontras baru di keluarkan, itupun baru hanya Kemenko Perek, eh maaf jadi tidak enak juga disingkat, maksudanya Kementerian Perekonomian, yang merespon dengan data, dan masih tanda tanya apakah itu draf yang final atau bukan.
Sehingga sampai di sini, terkait Omnibus Law ini, memang ada peluang inkonstitusi dan sangatlah bisa diperjuangkan untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi, tapi janganlah terlupa, karena mesti berkaca juga pada peristiwa jahanam pengesahan UU KPK yang silam.
Sebab seperti diketahui, untuk kesekian kalinya, ini adalah kerja senyap DPR, tentu publik masih mengingat bagaimana revisi UU KPK berjalan di DPR kemudian disahkan begitu saja.