Lalu harus bagaimana?
Ya harus ada oposisi, harus ada orang ataupun personal yang berani bersuara sebagai oposan, meski tidak terafiliasi dengan Parpol sekalipun.
Termasuk juga bagaimana pihak Parpol yang kalah Pemilu, harus konsisten, harus tetap bersuara, harus berani menobatkan diri sebagai oposisi.
Karena apa, minimnya partai oposisi pasti akan memantik kecemasan atas jalannya politik kekuasaan dan peran check and balance.
Masyarakat juga sangat perlu diedukasi bahwa oposisi itu sangatlah penting, sangat dibutuhkan dan itu wajib diterima.
Karena bisa dilihat, bagaimana polarisasi dan disparitas dukungan dan simpatisan fanatik kepada penguasa membuat terbungkamnya orang-orang yang ingin berpendapat dan mengkritisi pemerintah.
Oleh Karenanya, dengan fakta dan realita minimnya oposisi di periode kedua Presiden Joko Widodo ini menjadi catatan penting bagi politisi dan kekuatan politik, bahwa kontrol terhadap kekuatan kekuasaan para penguasa pemerintahan sangatlah penting.
Kehidupan politik Indonesia tidak boleh lepas dari kontrol dan kritik, jalannya roda pemerintahan harus seimbang dengan hadirnya oposan dan oposisi yang seimbang dan ini harus dicamkan baik-baik!
Demokrasi itu milik bersama, hak bagi semua orang, Ormas, LSM, ataupun bagi partai politik, baik yang di dalam pemerintahan maupun yang di luar pemerintahan.
Semoga saja kondisi ironi dan prihatin nyaris matinya oposan, nyaris matinya oposisi, dan nyaris sakitnya demokrasi politik ini bisa segera diobati.
Demokrasi Indonesia yang nyaris sakit keras ataupun nyaris dalam kondisi gawat darurat ini, bisa kembali sembuh dan sehat, menenangkan dan menyamankan bagi seluruh bangsa dan NKRI yang kita cintai bersama ini.