Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama FEATURED

Ketelanjuran "New Normal" Sebabkan "Ngeyel di Atas Normal"

21 Juli 2020   20:34 Diperbarui: 12 Oktober 2020   07:36 2600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Warga berbelanja berbagai kebutuhan lebaran saat masa PSBB di Pasar Raya Padang, Sumatera Barat, Senin (18/5/2020). Pusat perbelanjaan tradisional terbesar di kota itu kini kembali dibuka menjelang Lebaran setelah beberapa waktu lalu ditutup untuk dilakukan penyemprotan karena sejumlah pedagang tercatat positif Covid-19 hingga 81 orang. (Sumber: ANTARA FOTO/IGGOY EL FITRA via kompas.com)

Adaptasi kebiasaan baru merupakan realita yang paling realistis bisa dijalani untuk tetap produktif meski masih di tengah pandemi.

Dan memang tidaklah semudah membalik telapak tangan dalam memberlakukannya di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Tapi meskipun begitu, gaya hidup adaptasi kebiasaan baru ini memang yang paling memungkinkan dijalani asalkan tetap dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan.

Sebelumnya adaptasi kebiasaan baru ini di canangkan pemerintah dengan sebutan diksi new normal, entah latah ataupun mungkin karena ikut-ikutan dengan negara lainnya biar terlihat keren, akhirnya pemerintah juga turut menggunakan diksi new normal ini.

Pada akhirnya seiring pemerintah mulai menguji coba penerapan new normal dengan memberlakukan tahapan PSBB transisi ataupun pelonggaran PSBB ternyata diksi new normal tersebut menimbulkan salah pemahaman ataupun salah persepsi di masyarakat.

Sehingga pada praktiknya, banyak masyarakat yang menganggap bahwa kondisi new normal adalah kondisi yang sudah normal, padahal kenyataannya pandemi masih mengancam.

Karena sebab persepsi dan pemahaman yang salah di masyarakat inilah pada akhirnya pemerintah menuai banyak kritikan, sehingga pemerintah mengganti istilah diksi new normal dengan adaptasi kebiasaan baru.

Seperti yang dinyatakan oleh Juru Bicara Pemerintah RI untuk penanganan COVID-19, dr. Achmad Yurianto, yang mengungkapkan bahwa ada diksi yang salah di kata new normal dan menjelaskan bahwa diksi yang benar adalah adaptasi kebiasaan baru.

Nah, kalau dicermati, terkait dengan perkembangan demi perkembangan kondisi pandemi di negeri ini, sudah seringkali pemerintah melemparkan diksi-diksi yang kurang bisa di pahami dan membingungkan masyarakat.

Yang artinya di sini fakta dilapangan membuktikan, komunikasi publik pemerintah dan eksekusi pelaksanaan kebijakan insidentil terkait pandemi dilapangan, ternyata memang menunjukan, bahwa pemerintah memang masih terbata-bata dan seringkali tidak konsisten.

Disamping itu juga, sosialisasi kepada masyarakat terkait adaptasi kebiasaan baru ini dirasa masih kurang masif, buktinya bisa dilihat bagaimana perilaku masyarakat di masa PSBB transisi menuju adaptasi kebiasaan baru ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun