POHON-POHON KEMATIAN
Bagaimana jika setelah mati, selain tubuh, jiwamu juga diserap oleh pohon-pohon kematian.
     Sore itu sekitar jam 17.30. Aku membuka mata, "sial! aku ketiduran" seruku. Dengan terengah-engah aku bergegas pulang dari kantor karena suasana sudah sepi dan petang segera datang. Entah mengapa dadaku sangat sesak. Langit mendung, atau murung barangkali. Aku mengemudi dengan lambat sembari mengingat apa yang terjadi hari ini, seakan memori itu tiba-tiba hilang.
     Sesampainya di jalan masuk desa, langit mulai menangis begitu tiba-tiba hingga semua orang tergesa-gesa menepi. Akupun demikian, bergegas memilih emperan kios Mak Sri yang beratap kanopi, berteduh dari air mata hujan yang kini semakin deras disapu angin. Jika kubayangkan, seperti air mata kecurigaan dan kecemburuan para wanita setelah mendengar lagu Glimpse of Us-nya Joji. Begitulah wanita, menurutku.
     Dibalik kios, terdapat area pemakaman yang luas dengan pohon-pohon yang kokoh berdiri, diantaranya ada pohon kamboja dan pohon mangga yang subur. Di tengah-tengah area itu, terdapat pohon beringin besar bagai payung raksasa. Payung yang teduh sekaligus membangkitkan rasa ngeri saat menatapnya lama-lama. Tapi beringin itu memicu ingatan masa lalu, saat aku dan Doliman sering bermain air di pusat irigasi sawah sebelah pemakaman itu. Sampai Maghrib kami bermain, dan akhirnya ketakutan sendiri saat menyadari waktu sudah sangat gelap dan merinding saat menatap ke area pemakanan. Tapi saat siang di musim mangga, biasanya kami memetik mangga yang tak bertuan di area sana. Buahnya lezat dan manis.
     Tersadar dari lamunan, aku menghampiri pohon beringin itu. Berteduh di bawahnya, nyaman kurasa. Memandangi bunga kamboja yang elok dan buah mangga yang padat berisi. Mengamati Pohon beringin itu dari dekat, melihat akar-akarnya yang kokoh. Bukan tanpa alasan aku melakukan hal aneh tersebut dikala langit masih muram, ataupun saat cerah sekalipun. Aku teringat karya Motojiro Kajii yaitu Di Bawah Pohon Sakura. Menurutku, sama saja pohon sakura, beringin atau pohon yang lain. Pohon itu terus hidup berkat akar-akarnya yang selalu mencari makan. Apapun disekitarnya, termasuk kompos dari tubuh hewan, serangga, tumbuhan, daun ataupun buah yang mati membusuk di situ. Tak terkecuali manusia dan atau jiwanya mungkin. Pernah suatu waktu aku mendengar kata-kata, bahwa "jika kau mendengar sebuah cerita, hidupmu tidak lagi sama". Memang benar setelah membaca karya itu, sudut pandangku mulai berubah. "Ah, sial!"
     Hari sudah gelap. Lampu-lampu temaram mulai menyala. Aku duduk di bawah pohon beringin ditemani kunang-kunang dan kesunyian. Langit berhenti menangis, kini aku yang menangis, kesunyian menenggelamkanku dalam palungnya. Terpejam, membayangkan orang-orang yang datang ke pemakaman ini hanya bisa meratap. Untuk nasib yang sudah tiada, untuk masa lalu, dan untuk masa depan yang pada akhirnya sama. Dengan linglung, aku memutuskan memutari area pemakanam. Kemudian aku memetik mangga yang sudah ranum dan nampak sangat lezat itu.
Tapi ada yang aneh, seakan aku memakan jiwaku sendiri. Sial, aku jadi sangat mengantuk.
Sore itu sekitar jam 17.30. Aku membuka mata, "sial! aku ketiduran" seruku. Dengan terengah-engah aku bergegas pulang dari kantor karena suasana sudah sepi dan petang segera datang. Entah mengapa dadaku sangat sesak. Langit mendung, atau murung barangkali. Aku mengemudi dengan lambat sembari mengingat apa yang terjadi hari ini, seakan memori itu tiba-tiba hilang.....
Sesampainya di jalan masuk desa, langit mulai menangis begitu tiba-tiba.....
Hari sudah gelap. Lampu-lampu temaram mulai menyala.....