Mohon tunggu...
Muhammad Sidiq Permadi
Muhammad Sidiq Permadi Mohon Tunggu... -

Ordinary person. sajakku11.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Degradasi Sikap terhadap Bahasa Indonesia

12 Maret 2016   02:19 Diperbarui: 12 Maret 2016   02:33 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernahkah Anda melihat tulisan yang tertera pada pintu kamar mandi di perkantoran atau mall? Atau tulisan yang tertera pada keset, pintu masuk, maupun ruang rapat? Bila diamati, mayoritas tulisan tersebut berbahasa asing (Inggris), bukan? Apa yang salah dari tulisan tersebut? Tentu saja jawabannya tidak ada masalah. Yang menjadi persoalan penulis di sini adalah pemilihan bahasa di dalam tulisan tersebut.  

Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, tentu saja masyarakat Indonesia dapat berbahasa Indonesia. Akan tetapi, mengapa perkantoran ataupun mall-mall di Indonesia menuliskan berbagai macam petunjuk dengan menggunakan bahasa asing (Inggris)? Tidak sadarkah Anda bahwa hal kecil tersebut merupakan salah satu sikap negatif terhadap bahasa sendiri? Tidak banggakah Anda apabila berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia?

Garvin dan Mathiot (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 152) mengemukakan ada tiga ciri sikap bahasa, yaitu kesetiaan bahasa (languange loyalty), kebanggaan bahasa (languange pride), dan kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm).  Ketiga ciri tersebut apabila dikaitkan dengan keadaan bahasa Indonesia pada saat ini adalah sebagai berikut.

Kesetiaan bahasa (languange loyalty) merupakan suatu sikap yang mendorong masyarakat suatu bahasa untuk mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Pada saat ini, kesetiaan masyarakat Indonesia terhadap bahasanya sendiri sudah mulai pudar. Hal itu menggambarkan bahwa arus globalisasi dan westernisasi yang melanda masyarakat Indonesia sudah semakin besar tanpa adanya penguatan dalam segi penyaringan. Bagi masyarakat Indonesia, dengan meniru kebudayaan barat dapat menghasilkan prestise tersendiri. Dalam hal penggunaan bahasa, mereka yang dapat berbahasa asing merasa lebih dipandang oleh orang lain, merasa lebih intelek, dan sebagainya sehingga acap kali di dalam berkomunikasi, masyarakat tutur di Indonesia sering memasukkan serpihan-serpihan bahasa asing ke dalam percakapannya yang dalam istilah linguistik disebut dengan istilah campur kode. Sikap bahasa yang demikian adalah sikap yang negatif. Dengan demikian dapat disimpulkan, kesetiaan bahasa yang dimiliki oleh masyarakat tutur di Indonesia sudah berkurang.

Kemudian mengenai kebanggaan bahasa (languange pride). Menurut Garvin dan Mathiot, kebanggaan bahasa (languange pride) adalah suatu sikap yang mendorong orang mengembangkan bahasanya, dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. Di Indonesia, kebanggaan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap bahasa Indonesia tampaknya sudah mulai mengendur. Hal itu ditunjukkan dengan maraknya penggunaan bahasa asing di berbagai tempat,  seperti yang penulis jabarkan di awal. Padahal bahasa Indonesia merupakan lambang identitas negara Indonesia. Apabila masyarakat Indonesia sudah tidak lagi memiliki kebanggaan terhadap bahasanya sendiri, bukan tidak mungkin hal itu dapat memicu hilangnya bahasa Indonesia di negeri sendiri. Memang banyak faktor yang bisa menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri, dan menumbuhkan rasa bangganya pada bahasa lain sesuai dengan yang dikatakan Chaer (2010: 152), yakni karena faktor politis, ras, etnis, gengsi, dan sebagainya. Akan tetapi, sebagai warga negara Indonesia yang baik, sudah seharusnya masyarakat Indonesia memiliki kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Coba tengok negara tetangga, yaitu Singapura. Di negara maju tersebut, yang menjadi bahasa nasional adalah bahasa Melayu, sedangkan yang menjadi bahasa negara ada empat, yakni bahasa Melayu, Mandarin, Hindi, dan Inggris. Namun, di dalam praktiknya, bahasa yang digunakan secara luas adalah bahasa Inggris, baik di dalam berkomunikasi maupun untuk menjalankan administarsi kenegaraan. Hal itu sangat berbanding terbalik dengan negara Indonesia yang hanya memiliki satu bahasa sebagai bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Oleh karena itulah sebagai warga negara Indonesia sudah sepatutnya memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia.

Lalu yang terakhir adalah kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm). Yang dimaksud dengan kesadaran akan adanya norma bahasa, yaitu suatu sikap yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (languange use).  Ciri yang terakhir ini sudah sangat jarang ditemukan di dalam masyarakat tutur Indonesia. Hal itu dapat dilihat dengan mengambil sampel dari tingkat atau kemampuan berbahasa Indonesia yang dimiliki oleh para pejabat di negara ini yang notabene­-nya telah mendapatkan pendidikan yang tinggi. Contoh yang pertama dapat dilihat dari perilaku berbahasa Gubernur DKI Jakarta, yaitu Basuki  Tjahaja Purnama  yang biasa disapa dengan panggilan Ahok. Di Indonesia, Ahok dikenal sebagai pemimpin yang suka berbahasa nyeleneh atau seenaknya saja. Padahal, sebagai salah satu anggota dari kaum intelektual, kemampuan berbahasa Ahok haruslah berada di atas kemampuan berbahasa masyarakat Indonesia lainnya. Namun, pada kenyataanya, kemampuan berbahasa Indonesia Ahok tidak sesuai dengan tingkat pendidikan yang telah dilaluinya. Kedua, yaitu kemampuan berbahasa Indonesia para anggota dewan. Lihatlah kutipan di bawah ini yang penulis ambil dari media online detiknews.com

“Berdasarkan informasi yang dihimpun, penyebab keributan kedua anggota DPR tersebut berawal dari aksi sindir keduanya. Hal ini karena ada teguran dari pimpinan sidang agar anggota DPR yang bersangkutan tak boleh bertanya terlalu lama.”

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa apabila pemakaian bahasa tidak sesuai dengan norma bahasa, maka akan menimbulkan hal yang bersifat negatif. Yang diketahui pada umumnya adalah para pejabat dewan yang terpilih merupakan orang-orang dengan latar belakang pendidikan yang tinggi. Akan tetapi, sangat disayangkan mereka tidak memiliki kesadaran akan adanya norma bahasa di dalam berkomunikasi yang membuat mereka menggunakan bahasa seenaknya. Dalam hal ini, penulis sependapat dengan pernyataan Chaer (2010: 27), yakni “komunikasi manusia tidak memerlukan kekuatan fisik yang besar, tetapi dapat memberi efek yang sangat besar.”

Kemampuan berbahasa asing sangat diperlukan pada masa sekarang ini. Akan tetapi, tidak malukah Anda memiliki kemampuan berbahasa asing tanpa memiliki kemampuan dalam berbahasa sendiri?

 

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun