Mohon tunggu...
Siauw Tiong Djin
Siauw Tiong Djin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Politik Indonesia

Siauw Tiong Djin adalah pemerhati politik Indonesia. Ia bermukim di Melbourne, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peraturan Presiden 10-1959

8 September 2021   10:11 Diperbarui: 8 September 2021   11:42 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penduduk Tionghoa di Indonesia pernah mengalami tekanan hidup yang luar biasa, yaitu pada tahun 1959-1960. Malapetaka yang dialami ini mungkin terburuk dalam sejarah Indonesia, karena merupakan penderitaan banyak Tionghoa di berbagai wilayah dan membuahkan exodus paksaan yang merugikan banyak Tionghoa dan Indonesia secara keseluruhan.

Apa yang menyebabkan malapetaka yang diderita penduduk Tionghoa ini? Lagi-lagi kebijakan pemerintah yang bisa dinyatakan sebagai sebuah kejahatan negara, yaitu  PP 10 -- Peraturan Presiden  nomor 10 yang dikeluarkan pada November 1959.

Timbul pertanyaan, mengapa PP-10 dikeluarkan oleh seorang Soekarno, yang dikenal tidak memiliki sikap rasis, bahkan dekat dengan banyak tokoh politik Tionghoa? Latar belakangnya  diuraikan dalam tulisan singkat ini.

Zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) menyaksikan jatuh bangunnya kabinet-kabinet. Konstituante yang ditugaskan untuk menelurkan UUD baru terus menerus mengalami deadlock. 

Timbul pula ketidak puasan Angkatan Darat yang dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahan sipil. Pimpinan Angkatan Darat di bawah Nasution memperoleh kesempatan untuk mengubah situasi.

Pada 1957-1958, terjadi pemberontakan DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia) di berbagai wilayah di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi. Di Sumatra bangkit gerakan Permesta -- Piagam Perjuangan Semesta yang bekerja sama dengan banyak tokoh Masjumi dan PSI dalam membentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra pada Februari 1958. Ini merupakan gerakan membentuk Indonesia sebagai negara Islam. Sejarah membuktikan bahwa CIA terlibat dalam pemberontakan ini.

Perkembangan ini menyebabkan Angkatan Darat diberi kekuasaan luar biasa di daerah. Pimpinan milter di banyak daerah berhak mengeluarkan berbagai peraturan atas dalih keamanan. Sebagian peraturan ini mengandung tindakan rasis terhadap komunitas Tionghoa. Di antaranya peraturan yang melarang siswa Tionghoa yang WNI bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa. Ini kemudian disusul dengan keinginan sebagian pimpinan militer di daerah untuk melarang Tionghoa berdagang di kota-kota kecil dan di desa-desa.

Mereka menginginkan keuntungan para pedagang Tionghoa jatuh ke tangan para pedagang "asli". Tentunya pimpinan militer di daerah memperoleh sesuatu dari proses ini.

Keinginan ini disambut oleh Menteri Perdagangan, Rachmat Muljomiseno, seorang tokoh politik NU yang mendukung paham bahwa pedagang "asli" harus dibantu berkembang dengan cara memaksa Tionghoa menyerahkan usahanya ke para pedagang "asli". Pada Mei 1959, Rachmat Muljomiseno mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan yang melarang orang asing berdagang eceran di daerah di perdesaan. Yang diuntungkan tentu para pedagang yang mendukung NU dan Masjumi.

Peraturan ini ditentang keras di DPR. Pemerintah RRT-pun mencela kebijakan ini. Pada November 1959, keluarlah Peraturan Presiden nomor 10 (PP 10), yang memperlunak arus ini dan memberi waktu hingga 1 Januari 1960 untuk para pedagang Tionghoa asing berhenti berdagang eceran di pedalaman.

Banyak yang berkesimpulan bahwa Soekarno yang dikenal anti rasisme, demi memperoleh dukungan Angkatan Darat dan partai-partai Islam, terpaksa melakukan kompromi politik dengan mengeluarkan PP 10.

Dampak kompromi politik ini luar biasa. Pelaksanaan di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat berbentuk kekerasan, bahkan terjadi pembunuhan. Bukan saja para pedagang Tionghoa asing yang dituju, tetapi semua pedagang Tionghoa. 

Dan di banyak tempat, bukan hanya paksaan berhenti berdagang yang dituntut, tetapi juga pengusiran penduduk Tionghoa dari perdesaan dan kota-kota kecil.

Akibatnya sekitar 150 ribu Tionghoa dipaksa keluar dari desa-desa dan kota-kota kecil.

Pemerintah RRT mengeluarkan protes keras. Mereka menyatakan akan menerima penduduk Tionghoa yang diusir itu dan mengirim kapal-kapal ke beberapa pelabuhan.

Perkembangan ini membangkitkan arus "huiguo" -- pulang ke negara leluhur. Penduduk Tionghoa kehilangan kepercayaan bahwa pemerintah Indonesia bisa menjamin keselamatan dan kehidupan wajar mereka di Indonesia.

Bukan saja mereka yang terdampar ingin "pulang" ke Tiongkok, banyak pedagang di kota, masyarakat terpelajar dan para ahli juga memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Sekitar 140 ribu Tionghoa meninggalkan Indonesia pada 1960.

Setibanya di Tiongkok mereka mendapati bahwa Tiongkok bukanlah tanah air mereka.  Mereka merasa asing dan dianggap asing di sana. Berita dan anecdotes penderitaan ini sampai di Indonesia, sehingga  animo untuk "huiguo" berkurang.

Ketika Revolusi Kebudayaan dimulai pada 1966, banyak yang "huiguo" menjadi korban pengganyangan yang dilakukan oleh Red Guards, karena mereka dianggap "asing dan berbahaya untuk Tiongkok".  Sebuah perkembangan yang tragis.

Kebijakan rasis ini secara keseluruhan juga merugikan Indonesia. Pamor Indonesia di mata dunia jatuh. Distribusi barang dan pangan di daerah pedalaman tidak berjalan lancar.  

Para pedagang "asli" ternyata tidak bisa dalam waktu seketika menggantikan pedagang-pedagang Tionghoa yang sudah ber-generasi berpengalaman dan telah menjalin jaringan dagang yang efektif.  Rakyat jelata-lah yang dirugikan oleh perkembangan ini. 

Setelah Soekarno mengkonsolidasi kekuasaan politiknya pada akhir 1960,  pelaksanaan PP-10 dihentikan. Kebijakan PP-10 dilaksanakan dengan lebih gencar setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1966. Komunitas Tionghoa di pedalaman lagi-lagi dipaksa keluar dari tempat tinggalnya. Kali ini, mereka tidak memperoleh perlindungan apapun dari pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun