Mohon tunggu...
Siauw Tiong Djin
Siauw Tiong Djin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Politik Indonesia

Siauw Tiong Djin adalah pemerhati politik Indonesia. Ia bermukim di Melbourne, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arief Budiman, Sang Pejuang dan Akademisi

3 Juni 2018   10:28 Diperbarui: 3 Juni 2018   11:57 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for arief budiman


Persahabatan saya dengan Arief Budiman pernah diceritakan secara cukup panjang lebar oleh Arief sendiri dalam sebuah tulisannya yang berjudul Siauw Giok Tjhan yang Tidak Saya Kenal, terbit pada 1999 dalam buku yang saya sunting, Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan Baperki dalam sejarah Indonesia (Hasta Mitra, 1999).

Saya bergembira diberi kesempatan oleh, istri Arief, Leila Chairani Budiman, untuk secara umum dan terbuka menulis sesuatu tentang sosok pejuang dan sekaligus akademisi yang terkenal, Arief Budiman.

Nama Arief Budiman, yang juga dikenal sebagai Soe Hok Djien, tentunya sudah lama saya dengar sejak saya masih di SMA pada 1970-an.  Saya-pun mengetahui nama adiknya yang juga ternama, Soe Hok Gie.  Pada waktu itu saya ketahui bahwa mereka turut aktif mendukung Soeharto pada awal 1966 dan merupakan bagian dari kelompok yang memusuhi ayah saya, Siauw Giok Tjhan.

Perhatian dan kekaguman saya terhadap sosok Arief Budiman meningkat ketika saya membaca berbagai berita tentang keberanian Arief menentang kebijakan pemerintah "Orde Baru" yang turut ia dukung perwujudannya. Arief  berada di garis depan keras menentang korupsi dan menentang proyek Tien Soeharto, pembangunan Taman Mini pada 1970-an.  Oleh karenanya ia dan kawan-kawan sempat ditahan militer.

Pada 1972, di salah satu kesempatan bezoek untuk bertemu dengan ayah, saya bertanya tentang Arief Budiman.  Ayah menyatakan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Arief dan Hok Gie, tetapi ia kenal baik dengan ayah mereka, Soe Li Piet.  Ayah pada waktu itu meringkuk di penjara sebagai seorang tahanan politik. Ia merupakan salah seorang korban kejahatan negara yang dipimpin oleh Soeharto. Bersama ratusan ribu tahanan lainnya dipenjarakan tanpa proses peradilan apapun.

Ternyata Soe Li Piet, merupakan salah satu wartawan atau penulis yang bekerja di mingguan dan harian yang dipimpin oleh ayah di Jakarta, mingguan Sunday Courier, mingguan Suara Rakyat dan harian Republik.

Arief bercerita ke saya bahwa ia dan Hok Gie pada 1950-an, sering diajak ayahnya ke kantor percetakan Sunday Courier di jalan Pintu Besar, Kota.  Mereka bermain di kantor percetakan sambil menunggu ayahnya menyelesaikan tulisan-tulisannya atau tugas-tugas lainnya.  

Arief kecil pada waktu itu tidak mengetahui banyak tentang Sunday Courier dan siapa yang memimpinnya. Ia cukup terperanjat ketika pada 1988, di pertemuan pertama saya dengannya di Melbourne, saya ceritakan bahwa Sunday Courier dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan. Dan lebih terperanjat lagi ketika saya ceritakan bahwa ayahnya, Soe Lie Pit, mengenal baik Siauw Giok Tjhan, tokoh Tionghoa yang sempat ia "musuhi" di zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

Pada 1987, saya memutuskan untuk berkenalan dengan Arief dan menulis surat kepadanya yang berada di Salatiga. Arief tentu tidak mengenal saya. Dalam surat tersebut saya mengucapkan salam kenal dan memohon kesediaannya untuk berpartisipasi dalam upaya membela komunitas Tionghoa yang menurut saya selalu mengalami dampak negatif kebijakan rasisme pemerintah. Ia menjawab surat tersebut dengan nada cukup dingin: ...Mengapa harus dibela?...

Korespondensi tersebut tidak saya lanjuti.   Saya beranggapan, mungkin Arief memang hanya ingin berjuang sebagai seorang "pribumi", karena merasa sudah ter"asimilasi" dalam tubuh Indonesia.  Pada waktu itu, sebelum saya bertemu muka dengannya, saya ketahui bahwa ia merupakan seorang tokoh yang mendukung paham asimilasi. Paham ini menganjurkan Tionghoa menanggalkan ke-Tionghoa-annya untuk menjadi orang Indonesia yang baik. Jadi timbullah anjuran mengganti nama dari Tionghoa ke nama yang tidak Tionghoa; menghentikan tindakan ritual Tionghoa seperti sembahyang cara Konghucu atau Tao-isme;  tidak merayakan tahun baru Imlek; dan menghilangkan ciri-ciri biologi Tionghoa generasi penerus melalui kawin campuran, kawin dengan orang-orang "asli" atau "pribumi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun