Mohon tunggu...
Siauw Tiong Djin
Siauw Tiong Djin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Politik Indonesia

Siauw Tiong Djin adalah pemerhati politik Indonesia. Ia bermukim di Melbourne, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peringatan Ke-20 Kerusuhan Mei 98

2 Juni 2018   19:48 Diperbarui: 3 Juni 2018   10:31 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah dan aparat negara berkepentingan untuk menunjukkan supremasi kekuatannya. Kekuatan Islam radikal dan Jihadis terpaksa tiarap untuk sementara waktu.

Sangat berbeda dengan sikap pemerintah dan aparat negara pada Mei 98 dan dalam skala yang jauh lebih besar pada 1965-1966.

Pada Mei 98 jelas militer mengkoordinasi, memimpin dan mengatur kekacauan yang memicu ledakan rasis dahsyat terhadap komunitas Tionghoa.

Sama halnya dengan yang terjadi pasca 1 Oktober 1965. Militer di bawah pimpinan Jendral Soeharto mengkomandoi pembantaian masal tidak berperikemanusiaan yang menyebabkan jutaan orang yang tidak bersalah dibunuh; melakukan penangkapan massal sehingga ratusan ribu orang-orang yang tidak bersalah masuk tahanan, 100 ribu di antaranya meringkuk dalam tahanan tanpa proses peradilan selama 12 tahun; dan melakukan persekusi politik terhadap jutaan orang selama bertahun-tahun. Rakyat diteror sedemikian rupa sehingga Indonesia bertahun-tahun merupakan sebuah penjara terbesar di dunia...

Dalam menindak teroris Islam, pemerintah Jokowi melalui aparat hukumnya tegas. Pentolan ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman setimpal dengan kejahatannya.

KOMNASHAM tentang 1965 dan TGPF tentang Mei 98 telah membuktikan bahwa telah terjadi kejahatan negara berupa pelanggaran HAM yang serius dan keterlibatan militer. Akan tetapi, tidak ada satu-pun pelaku yang ditahan, diadili dan dihukum.

Dalam kasus 1965 telah terkuak peran dan keterlibatan Soeharto. Para tokoh militer yang terlibat sudah non aktif. Dalam kasus Mei 98 masih terdapat beberapa teori, akan tetapi ada dua pelaku utama yang dituduh terlibat, yaitu Wiranto, pada waktu itu Pangab, kini Menko Polhankam; dan Prabowo, pada waktu itu PangKOSTRAD, kini capres.

Sejarah menunjukkan bahwa selama pemerintahan sipil sangat tergantung atas dukungan militer, impunitas terhadap para tokoh militer akan tetap berlangsung.

Celakanya Impunitas terhadap militer aktif maupun non aktif merupakan sebuah signal jelas bahwa pemerintah atau para tokoh politik dan militer bisa setiap saat, demi kepentingan politik, melakukan kejahatan negara tanpa ada dampak hukum apapun.

Pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika

Pada zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965) berkembang perdebatan sengit tentang "jalan keluar" yang harus ditempuh komunitas Tionghoa. Paham Integrasi, yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme disebar-luaskan oleh Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Intinya adalah komunitas Tionghoa mengintegrasikan dirinya dalam semua kegiatan politik, ekonomi dan sosial tanpa menanggalkan ke-Tionghoa-annya. Mereka berpendapat bahwa kesetiaan seseorang terhadap Indonesia tidak bisa dikaitkan dengan latar belakang ras. Dan mereka menganjurkan komunitas Tionghoa yang sudah ber-generasi hidup di Indonesia diterima sebagai suku Tionghoa, sebagai suku yang tidak terpisahkan dari tubuh nasion Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun