Mohon tunggu...
siasih
siasih Mohon Tunggu... Freelancer - perempuan yang yoga, jalan-jalan dan menulis

keisengan yang hakiki

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

TDL Naik Tak Berdampak di "Wonderland"

23 Juni 2019   22:46 Diperbarui: 24 Juni 2019   08:42 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemangku Adat Ciptagelar, Yoyo Yogasmana (baju hitam)

Tersebutlah kisah tentang sebuah desa yang kerap disapa sebagai "Wonderland". Desa kecil terpencil yang subur makmur, hijau royo-royo, memiliki perusahaan listrik sendiri, punya cadangan beras bagi warganya untuk setengah abad kedepan, dan mengelola stasiun televisi serta radio sendiri. Sungguh sebuah desa impian. Semua tersedia bagi warganya yang sudah pasti senantiasa bahagia.

Ciptagelar, itulah nama asli "Wonderland" si Desa Impian. "Ya...! Desa kami, Ciptagelar, memang kerap disebut sebagai Wonderland. Mengapa? Karena memang tak ada lagi yang seperti itu. Ya, cuma satu-satunya, yaitu Ciptagelar," tutur Pemangku Adat Ciptagelar, Yoyo Yogasmana, yang akrab disapa Abah.

Abah hadir "mendongeng" dalam Workshop Bersama Media: Menelaah Arti Penting Energi Terbarukan di Indonesia, yang digelar Mirah Saketih, sebuah lembaga yang bergerak di bidang isu-isu development, pada 18 - 19 Juni 2019, di Bogor, Jawa Barat.

Ciptagelar merupakan kampung adat yang berlokasi di kawasan pedalaman Gunung Halimun - Salak. Sebagai kampung adat, menurut Abah, Kasepuhan Ciptagelar memegang kuat adat leluhur. "Rumah, alat bertani, termasuk pakaian serta ikat kepala yang kami kenakan ini juga khas Ciptagelar, yaa seperti ini," ujar Abah sambil menunjuk pakaian serta ikat kepala yang dikenakannya.

Kasepuhan Ciptagelar hidup dari Alam. Bertani adalah mata pencaharian utama warga desa ini. Bertani pun dilakukan dengan tradisi tanpa menggunakan alat bantu berteknologi tinggi macam traktor atau alat penggiling padi. Membajak mereka menggunakan kerbau. Menggiling padi menjadi beras mereka gunakan alu. "Menanam padi, kami lakukan setahun sekali. Hasilnya kami simpan di lumbung padi. Kami ambil secukupnya untuk sehari-hari, sisanya kami simpan," cerita Abah yang menegaskan, padi hasil panen tidak mereka jual. Tak heran, cadangan padi di Kasepuhan Ciptagelar luar biasa banyaknya cukup untuk puluhan tahun lamanya.

Energi Terbarukan Bukan Barang Baru di Ciptagelar

Meski warga Ciptagelar setia memegang teguh dan menjaga adat istiadat para leluhur, mereka tak anti kemapanan, mau belajar dan selalu inovatif di setiap sisi kehidupan. Warga Ciptagelar tetap menikmati kemajuan teknologi dengan setia untuk selaras memegang teguh kelestarian alam agar hidup tetap berteraturan. Ciptagelar bergerak maju tanpa harus larut dan terbawa arus dalam kemajuan duniawi. "Kami menjalankan titipan leluhur sejak 1368 hingga kini. Bagi kami, hidup itu kudu bisa ngigelan jaman, tapi ulah kabawa ku jaman," tegas Abah.

Maka, walau tak menutup mata dengan kemajuan teknologi, namun warga Ciptagelar tetap teguh bertekad untuk menikmati kemajuan teknologi dari alam tanpa harus merusak alam itu sendiri. Mereka hidup tanpa bergantung energi fosil. Api untuk memasak, mereka dapatkan tanpa menggunakan minyak atau gas, tapi mengambil sedikit manfaat dari ranting pohon. Kebutuhan akan energi listrik,  didapat warga dari tenaga air.

Semua bermula dari kedatangan Tri Mumpuni Wiyatno, seorang pemberdaya listrik yang telah banyak jasanya dalam menerangi sejumlah desa terpencil termasuk di Ciptagelar. "Kami sudah swasembada listrik sejak lama, berkat Srikandi Perlistrikan Indonesia, Ibu Tri Mumpuni, di tahun sembilan puluhan. Dengan memanfaatkan air untuk memutar turbin kayu yang mampu menjalankan generator pembangkit listrik (Micro Hydro). Air itu terus mengalir karena kami punya tradisi yang mengutamakan kelestarian hutan. Alam, termasuk hutan adalah hal yang utama dalam kehidupan kami. Apa yang selama ini kami jalankan mampu menjaga air tetap tersedia di Ciptagelar." jelas Abah.

Swasembada listrik membuat Kasepuhan Ciptagelar sama majunya dengan desa lain. Meski berada di pelosok yang tak terjangkau jaringan listrik PLN, namun berkat perusahaan listrik milik desa, maka hanya dengan membayar iuran listrik Rp 2.500 setiap bulannya, warga bisa menerangi rumahnya dan menyaksikan tayangan televisi serta mendengarkan radio dari stasiun televisi maupun radio milik Kasepuhan Ciptagelar. "Warga senang saja dengan iuran segitu. Kadang digenapin bayarnya empat bulan sekali biar jumlahnya bulat jadi sepuluh ribu. Paling besar tagihan listriknya itu Saya. Bisa sampai seratus ribu sebulan. Itu karena ada kulkas, magic jar, radio tape, komputer dan televisi yang terus menyala di rumah," kata Abah.

Jika turbin rusak, perusahaan listrik Ciptagelar punya staf yang bertugas memperbaikinya. Meski pendidikannya tak tinggi, namun mereka mampu memperbaiki dengan belajar dari para ahli yang datang berkunjung atau dengan menonton konten teknologi di internet. "Desa kami juga punya akses wifi sendiri," ujar Abah.

Satu hal yang menjadi kendala bagi warga Ciptagelar dalam ketersediaan listrik adalah semakin susutnya pepohonan di hutan yang berada di sekitar Kasepuhan Ciptagelar. "Kami punya prinsip, siapa menebang, dia harus menanam. Sayangnya kini banyak orang luar yang melakukan penebangan pohon di hutan sekitar wilayah kami. Itu mengerikan karena dampaknya hutan akan gundul, air tanah akan surut dan desa kami akan kekurangan air sebagai modal utama pembangkit tenaga listrik. Sedihnya, kami tak punya wewenang untuk menangkap pelaku. Paling yang bisa kami lakukan adalah memperingatkan mereka. Lebih dari itu adalah tugas polisi hutan," keluh Abah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun