Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Laki-laki yang Mengurung Diri di Kamarnya

18 Januari 2023   22:27 Diperbarui: 21 Januari 2023   14:19 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi laki-laki yang mengurung diri di kamarnya| by pixabay

Jono Haris memutuskan mengabadikan seluruh hidupnya untuk mengasingkan diri dari dunia. Pikirannya adalah tempatnya sendiri dan dengan sendirinya dapat membuat surga-neraka, neraka surga. Pria itu mengisolasi diri di apartemen sederhananya yang berkamar satu.

"Kenapa harus keluar?" Dia berkata kepada dirinya sendiri setiap kali suara yang menjengkelkannya mencoba membujuknya untuk pergi bersenang-senang di luar. "Dunia adalah tempat yang menjijikkan. Dan di sini aku aman," katanya.

Jono Haris seorang penyendiri. Tanpa diragukan lagi, dia lebih memilih hidup berteman dengan dirinya sendiri dan tidak ingin lagi berbaur dengan orang lain. Kesenangannya cukup dengan membaca koran yang dia beli di kios tidak jauh dari apartemennya, lalu berdiam diri di kamarnya hingga dia tahu kapan harus berhenti bersenang-senang. Dia melakukannnya karena dia membenci dunia.

Baca juga: Membeli Kebahagiaan

Setiap malam Jono Haris berbaring di kasur yang lusuh, menyaksikan kecoa keluar dari lubang hitam di langit-langit yang berlari melintasi dinding. Bau busuk keluar dari toilet tempat dia mencuci juga meskipun tidak ingat kapan terakhir kali dia melakukannya.

Di sebelah bantalnya ada jendela yang menghadap ke luar. Yang terlihat olehnya hanya udara kosong, kecuali dia menengok sedikit ke bawah, dari tingkat dua, tampak beberapa orang dan kendaraan berlalu lalang di jalan.

Bangunan apartemennya bertingkat lima, masing-masing berisi lima belas ruangan. Tidak banyak yang menyewa di sana karena bangunannya yang sudah buruk sehingga tidak menarik. Konon katanya pengembang apartemen itu, sebenarnya lebih pantas disebut rumah susun, mengalami kerugian dan tidak mempunyai dana untuk merevitalisasi bangunan itu. Jalan satu-satunya menyewakan dengan harga murah, tetapi tetap saja tidak banyak yang berminat.

Jono Haris cocok tinggal di sana karena dia tidak membenci keadaannya yang sepi. Tidak banyak hal di dunia ini yang tidak dia benci. Dia benci keramaian, pusat perbelanjaan, pesta, mobil, pesawat terbang, dan kendaraan bermotor lainnya karena menurutnya terlalu berbahaya untuk digunakan. Namun, ada satu hal yang sangat dia nikmati: laut.

Meskipun laut hanya berjarak beberapa kilometer dari tempat tinggalnya, Jono Haris belum pernah melihatnya lagi sejak masa kanak-kanak. Bertahun-tahun yang lalu dia memutuskan untuk tidak pergi ke sana lagi karena dia telah membaca tentang bagaimana lautan terkontaminasi dan garis pantai telah menjadi pembuangan sampah hingga menumpuk. Dia bisa tertular penyakit atau mati karena mabuk. Perjalanan ke pantai juga akan berbahaya. Dia mendengar tentang banyak insiden lalu lintas dan takut mati dalam kecelakaan atau tertabrak bus saat menyeberang jalan.

"Begitu banyak masalah yang menjulang di depan, " pikirnya. Setidaknya dia aman di kamar apartemennya di usianya yang kelimapuluh delapan tahun.

Baca juga: Menjebak

Namun demikian, Jono Haris tidak pernah berhasil membungkam musuh terbesarnya: Suara menyebalkan yang terus menyuruhnya untuk bersenang-senang di luar.

"Kamu harus berjalan melintasi kota ke laut," kata suara itu.
"Tinggalkan aku sendiri."
"Mengapa? Apakah kamu takut?"
"Tidak, aku tidak takut."
"Lalu tunggu apa lagi?"
"Itu terlalu berisiko."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun