Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kintsugi, Seni Menikmati Kerusakan dari Prespektif Keindahan

11 September 2021   14:19 Diperbarui: 11 September 2021   14:30 1699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi merekatkan mangkuk dengan kintsugi| by istock

Meskipun kita mungkin tidak banyak mengungkit atau pun mengingat hal ini, terutama di waktu kecil, hati kecil kita cenderung berharap bahwa pada suatu saat kita mampu meraih kesempurnaan dalam beberapa bidang. 

Dulu, kita bermimpi bahwa suatu hari kita akan mendapatkan hubungan cinta yang ideal dan harmonis, pekerjaan yang memuaskan, keluarga yang bahagia, dan penghormatan dari orang lain. 

Namun, hidup ternyata mempunyai caranya sendiri untuk membuat kita menderita, bahkan mungkin tidak menyisakan apa pun dari mimpi-mimpi indah itu, kecuali beberapa fragmen yang pecah dan tidak bernilai sama sekali; hubungan cinta yang kandas; pekerjaan yang buruk; keluarga yang hancur; atau perlakuan orang lain yang kurang menyenangkan. 

Trauma masa lalu pada dasarnya ingin memberi jalan ke waktu yang lebih baik, tetapi itu dilakukan hanya dengan berpura pura lupa bahwa saat-saat buruk tersebut tidak pernah terjadi.

Pada momen inilah kita dapat memusatkan pikiran kita pada sebuah konsep yang diambil dari filosofi Jepang yang berlaku berabad-abad—khususnya pendekatan seorang Budhis, Zen, terhadap keramik—yaitu sebuah pengembangan argumen bahwa kuali, gelas, dan mangkuk yang telah rusak tidak seharusnya diabaikan atau lantas dibuang begitu saja. Benda-benda itu harus terus mendapat perhatian dan diperbaiki dengan ketelitian tinggi. 

Proses ini menyimbolkan rekonsiliasi atau pemulihan hubungan dengan aliran dan kesengsaraan yang terjadi seiring waktu. Tradisi rekonsiliasi ini menggambarkan kembali tema-tema fundamental dalam Zen. 

Tradisi perbaikan keramik ini dikenal dengan istilah “kintsugi”—kin berarti emas; tsugi berarti menyambungkan. Secara literal artinya adalah meyambungkan dengan emas”

Dalam estetika Zen, potongan-potongan kuali yang dipecahkan secara tidak sengaja harus diambil, ditata, dan digabung kembali dengan lak (perekat keras dari damar merah atau hitam), lalu dicampur dengan bubuk emas yang paling mahal. 

Keretakannya pun tidak boleh ditutup-tutupi. Ini bertujuan untuk mengubah kesan garis rusak itu menjadi indah dan kuat. Urat-urat emas yang berharga ditampilkan untuk menunjukkan bahwa keretakan atau kerusakan itu punya makna filosofis tersendiri.

Berdasarkan sejarah, asal muasal kintsugi sendiri diperkirakan bermula pada periode Muromachi. Ketika itu Shogun Jepang, Ashikaga Yoshimitsu (masa pemerintahan 1358-1408), merusak mangkuk teh kesukaannya. 

Karena sedih, Ashikaga mengirimkan mangkuk itu ke Tiongkok untuk diperbaiki. Akan tetapi, ketika mangkuk kesayangannya itu selesai diperbaiki, Ashikaga sangat terganggu dengan plat besi yang digunakan untuk menggabungkan kembali bagian-bagian yang rusak—sambungannya terlihat jelek. Beliau memerintahkan para pengrajin Jepang agar memberikan solusi yang lebih baik. 

Akhirnya, seorang pengrajin, Kong Sookie, memberikan sebuah metode, yaitu tidak mencoba menghilangkan kerusakan, tetapi membuat sesuatu yang bernilai estetis. 

Seni Kong Sookie menjadi terkenal karena mengubah benda pecah menjadi lebih indah. Bahkan, ada desas-desus bahwa orang-orang mulai sengaja merusak keramik milik mereka sehingga dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik indah ini.

Kintsugi dalam idealisme Zen di sebut wabi-sabi: Konsep menghargai dan menerima sesuatu yang tidak sempurna—baik karena sudah tua, tidak lengkap, maupun memang biasa saja. Wabi-sabi menganggap ketidaksempurnaan merupakan bagian dari hidup dan tidak seharusnya disangkal.

Ada sebuah cerita mengenai salah satu pemakarsa besar wabi-sabi, Sen No Rikyu, ketika berkelana ke selatan Jepang. Suatu malam Rikyu diundang makan malam oleh seorang petinggi di sana. Sang Tuan Rumah berpikir bahwa Rikyu akan kagum melihat sebuah vas teh yang mahal dan antik yang dibelinya di Tiongkok. Namun, Rikyu tampak tidak tertarik, bahkan dia tidak menyadari keberadaan benda itu, dan malah menghabiskan waktunya mengobrol dan mengagumi sebatang ranting yang tertiup angin di luar jendela. Sedih karena Rikyu tidak menunjukkan minat sama sekali, setelah kepergian tamunya, Sang Tuan Rumah memecahkan vas itu dan kembali ke kamarnya. Para tamu yang ikut hadir pun dengan bijak mengumpulkan serpihan-serpihan vas dan menyatukannya kembali dengan kintsugi. Beberapa waktu kemudian Rikyu datang kembali dan memandang vas yang telah diperbaiki. Dia memberikan senyumnya dan berkata,” Vas ini menjadi indah.”

Dalam dunia yang mengagung-agungkan usia, kesempurnaan, dan hal baru, seni kintsugi memberikan kita mutiara kebijaksanaan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Kasih sayang dan kepedulian yang kita diberikan kepada pecahan-pecahan itu harus pula mengajak kita menghormati hal-hal yang rusak, terluka , dan tidak sempurna. Kintsugi merupakan cerminan tentang arti menjadi manusia setelah mengalami potongan-potongan cerita menyedihkan dan akhirnya menemukan kembali keutuhan itu. Hal ini selaras dengan pemikiran seorang legenda Amerika dalam sastra, Hemingway—mungkin dia telah menghabiskan pikirannya—ketika dia menulis kalimat terkenal dari novel “A Farewell to Arms” yang diterbitkan pada 1929: “Dunia menghancurkan semua orang, dan setelah itu, beberapa orang akan menjadi kuat di tempat yang rusak.” *

 

 - Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan -

*Sumber referensi: 

- Kintsugi:The Acient Art of Broken Pieces.

- Kutipan Ernest Hemingway, A Farewell to Arms, Bab 9

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun