Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konsep Child Free Mengoyak Kegigihan Para Pejuang Dua Garis

29 Agustus 2021   16:45 Diperbarui: 31 Agustus 2021   00:26 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pasangan yang memutuskan child free by pixabay

Sebuah statement kontroversial disuarakan Gita Savitri baru-baru ini ramai menuai polemik pro dan kontra. Saya tidak akan mengulas keputusan Youtuber tersebut terkait ucapannya tentang ketidakinginan memiliki anak---child free---kendati dia telah berumah tangga. 

Biarlah, itu hak dia dan pasangannya. Hanya, ketika keputusannya itu disampaikan ke ranah publik, setuju atau tidak, pemikiran tersebut secara praktis menuai kericuhan khalayak ramai karena bisa memberikan impact atau pengaruh pemikiran kepada pasangan muda lainnya.   

Di Indonesia, istilah child free sendiri masih terkesan tabu. Berbeda dengan masyarakat di luar negeri yang sudah lama mengenal istilah ini, kultur masyarakat kita---yang sebagian besar masih berpegang erat pada norma dan budaya kolektif---akan memberikan stigma negatif terhadap pelaku child free. 

Menurut masyarakat yang kontra, penolakan atas kehadiran buah hati dianggap sebagai suatu pembangkangan terhadap nilai-nilai agama dan norma-norma sosial. 

Memiliki anak justru merupakan sesuatu yang sudah pakem dari pasangan suami istri. Maka itu, ketika keputusan child free didengungkan oleh mereka yang setuju, konsep itu lantas dianggap oleh mereka yang kontra sebagai konsep aneh dan jelas menyalahi fitrah diri sebagai manusia. Bukankah gambaran konsep rumah tangga ideal itu terdiri atas bapak, ibu, dan anak?

Para pendukung child free tentu lebih mudah menerima berbagai faktor alasan yang diutarakan pelaku konsep ini---mulai dari faktor ekonomi, sosial, bahkan psikologi. 

Berbagai alasan yang kerap diungkapkan mereka, salah satunya yaitu adanya kekhawatiran akan kondisi masa depan perekonomian dunia sehingga memicu rasa takut dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sang anak kelak. 

Kemungkinan alasan lainnya yaitu adanya pengalaman traumatis di masa kecil sehingga mereka khawatir tidak akan bisa menjadi orang tua yang baik, apalagi di era yang sangat riskan ini.

Jika beberapa alasan menyebabkan pasangan suami istri itu akhirnya menyepakati keputusan child free, lantas bagaimanakah kita melihat fenomena ini dari sisi pasangan suami istri lainnya yang pada kenyataannya justru harus berjuang gigih agar bisa memiliki seorang buah hati?

Konsep child free olah-olah menorehkan luka kepada para pejuang dua garis (baca: tanda positif kehamilan). Bayangkan, disaat sebagian pasangan suami istri berjuang keras agar bisa memiliki anak, sebagian lainnya malah menolak. 

Alih-alih menganggap pelaku child free sebagai bagian dari mereka, para pejuang dua garis itu  justru seperti mendapat "ledekan" menohok. Toh, para pelaku child free saja seolah-olah dibebaskan berpikir bisa bahagia tanpa anak, mengapa para pejuang dua garis seperti disodok-sodok kesedihan akibat cemoohan orang-orang atas ketidakmampuan mereka menghadirkan seorang anak.

Apalagi suatu saat, misalnya, dari sekian pelaku prinsip child free tersebut tiba-tiba berubah pikiran yang akhirnya malah berkeinginan memiliki buah hati---bahkan, dengan mudahnya mereka pun mengalami proses kehamilan dan persalinan---maka, bukan tidak mungkin perasaan para pejuang dua garis itu akan mengalami kekecewaan tiada tara terhadap takdir.  

Nah, jika sudah begini, terlepas dari unsur ketidaksiapan pelaku child free menjadi orang tua, bisa saja kemudian ada yang berpikir secara geram: Bagaimana jika para pelaku child free ini berkolusi dengan para pejuang dua garis yang sudah betul-betul tidak bisa memiliki momongan?

Meskipun pikiran itu terdengar konyol---dan jelas salah dari sudut agama--- setidaknya mereka telah memberikan usulan sebagai upaya jalan tengah penyelesaian atas perbedaan pandangan dalam keinginan memiliki buah hati. 

Para wanita pelaku child free itu diharapkan mau memberikan "rahimnya", entah bagaimanalah cara dan prosesnya, kepada para pasangan pejuang kehamilan. Dengan demikian masing-masing pasangan mungkin bisa berbahagia tanpa harus memupuskan keinginan kedua belah pihak. 

Ah, ide konyol itu rasa-rasanya akan banyak mendapat kontra, bahkan mungkin hujatan. Jangan sampai kemudian hari, pemikiran tersebut malah ikut menjadi tren pemikiran baru sebagaimana pemikiran child free itu sendiri--ya, salam, kehidupan di dunia ini memang tidak bisa ditebak.

Oleh karena itu, konsep child free ini sebaiknya menjadi bahasan penting yang harus dikaji lagi oleh beberapa pihak terkait, termasuk diantaranya pelaku itu sendiri, keluarga besar, kalangan praktisi kesehatan, psikologi, akademis dan agamis. Diharapkan semuanya mencapai titik kesepakatan bersama dengan tujuan memikirkan regenerasi kehidupan manusia di masa depan.

---

--Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun